(Arrahmah.com) – Berbicara akad atau janji setia menjadi proses sakral dalam acara pernikahan karena dengan proses tersebutlah bisa menyatukan pasangan dua insan yang saling mencintai.
Berbicara cinta setiap orang akan berbeda-beda menafsirkannya apa itu cinta. Ada yang mengatakan cinta itu buta, tak pandang fisik maksudnya pasangan lawan jenis yang mempunyai kekurangan dalam fisiknya.
Karena cinta juga bisa lintas suku, budaya bahkan lintas negara semua bisa bersatu dalam ikatan pernikahan. Ketika itu didasari oleh syariat Islam hal tersebut tak jadi masalah tetep akan membawa keberkahan tapi apa jadinya ketika hal tersebut diawali dengan perzinahan bukan keberkahan yang diraih justru Allah SWT akan murka.
Di Indonesia sendiri untuk masalah usia pernikahan masih menjadi pertentangan diantara para politikus, yang membatasi usia pernikahan antara 18 atau 19 tahun dengan alasan meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga.
Seperti keputusan Panitia Kerja (Panja) dengan pemerintah saat ini berbeda dari keputusan rapat pada tanggal 3 September 2019. Saat itu, Panja RUU Perkawinan telah menyepakati 18 tahun merupakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki sedangkan kementerian PPA tetap berkukuh batas usia pernikahan bagi perempuan tetap 19 tahun. (CNN Indonesia.com, 13/09/19).
Batas usia pernikahan tersebut bisa memicu maraknya muda-mudi yang lebih baik melakukan zina lewat status pacaran untuk membuktikan cintanya dengan alasan usia mereka belum mencukupi.
Pernikahan bukan dijadikan solusi tuk memberantas perzinahan bagi pasangan yang ingin menyalurkan Gorizah Naunya (Naluri kasih sayang) dalam ikatan halal.
Batas usia ini diklaim untuk menghindari kekerasan dalam rumah tangga. Apakah usia bisa djadikan tolak ukur untuk menghilangkan kekerasan dalam rumah tangga? Ternyata tidak, karena terjadinya kekerasan rumah tangga bukan ditentukan oleh usia. Lantas seperti apa Islam memandang batas usia pernikahan?
Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam batasan usia untuk menikah tidak ada batasan minimal atau maksimal, hanya ditentukan oleh baligh belumnya seseorang. Bagi laki-laki tanda balighnya adalah sudah mengalami mimpi basah bagi perempuan sudah mentruasi. Ketika seseorang sudah baligh berarti sudah terkena takhlif hukum syara artinya wajib menjalankan semua perintah Allah tanpa milih-milih.
Seperti seorang perempuan wajib menutup auratnya, menjaga jarak interaksi dengan lawan jenis kecuali yang diperbolehkan oleh syara seperti muamalah, kesehatan dll. Jadi usia bukan tolak ukur layak tidaknya seseorang untuk menikah.
Dalam Islam negara punya kewajiban untuk memfasilitasi rakyatnya dengan melakukan bimbingan tentang ilmu rumah tangga, seperti memahankan hak dan kewajiban suami istri, nasab dll. Demi menyiapkan mental warganya untuk menuju ke arah sana.
Maka tidak akan ada yang namanya kekerasan dalam rumah tangga karena faktor usia. Jadi tidak ada namanya muda-mudi dalam Islam meluapkan Ghorizah Naunya dengan jalan pacaran karena alasan terbentur usia, mereka akan berakad dalam ikatan halal yaitu pernikahan. Wallahu alam.
Oleh: Yuyun Suminah
Aktivis Muslimah Karawang
(ameera/arrahmah.com)