JAKARTA (Arrahmah.com) – Pada dasarnya rencana tentang keterlibatan militer dalam memerangi terorisme sudah diatur Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia. Namun, implementasi campur tangan tentara dalam penanganan terorisme harus didasari keputusan politik, demikian yang dikatakan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
“Itu berarti TNI harus selalu siap,” kata Sjafrie usai mendampingi Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro berdialog dengan pemimpin redaksi sejumlah media massa di Kementerian Pertahanan Jakarta, Rabu (27/7/2011) malam.
Dalam kesempatan tersebut Sjafrie juga menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang TNI disebutkan bahwa untuk terlibat di dalam kegiatan militer selain perang, TNI harus menunggu keputusan politik. Ada 14 kegiatan selain militer yang disebutkan di dalam undang-undang tersebut, salah satunya adalah pemberantasan “terorisme”.
Hal tersebut berarti TNI memang selalu disiapkan untuk mengatasi “terorisme”. Terkait masalah kapan waktunya, Sjafrie mengatakan hal tersebut tak bisa otomatis. Pasalnya, TNI harus menunggu instruksi yang biasanya dikeluarkan dalam bentuk peraturan presiden. Dan Peraturan presiden untuk melibatkan TNI, harus dikonsultasikan dengan DPR terlebih dahulu.
Ketika ditanya apakah pemerintah sudah menyiapkan instruksi kepada TNI untuk terlibat dalam kegiatan penanggulangan “terorisme”, Sjafrie mengelak.
“Kami kan tidak boleh begitu mau terlibat lalu lapor ke rakyat bahwa tentara melakukan tugas pemberantasan terorisme karena terikat tugas yang menyangkut kerahasiaan operasi,” kata jenderal TNI AD berbintang 3 itu.
Ia menjelaskan bahwa operasi pemberantasan “terorisme” yang dilakukan TNI akan dilaporkan kepada masyarakat bila operasi telah selesai digelar. Operasi pun tidak serta-merta diumumkan saat dimulai.
Ia mencontohkan saat TNI dalam Operasi Woyla untuk membebaskan sandera dalam peristiwa pembajakan pesawat Garuda pada 1981 silam. Setelah rampung, barulah Panglima TNI mengumumkan.
Ia mengungkapkan tidak semua bagian dari operasi itu dilaporkan ke publik, sebab masih ada yang harus dikembangkan. Ia mengklaim untuk kepentingan kerahasiaan dan kepentingan pengembangan operasi, maka ada pengecualian hal yang diinformasikan ke publik.
Semenetara itu, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti mengungkapkan bahwa melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme tanpa di dahului dengan adanya payung hukum yang resmi adalah tindakan illegal. Ia berpendapat, jika ingin melibatkan TNI, susun dulu Undang-undang tentang Tugas Perbantuan.
Pernyataan tersebut disampaikan Poengky menanggapi Rapat Koordinasi Penanggulangan Terorisme yang diselenggarakan pada Senin (25/7) lalu oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Rapat tersebut menghasilkan usulan untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme dan membantu mencegah radikalisme.
“Keinginan pemerintah untuk melibatkan TNI dalam menanggulangi terorisme dengan tanpa secara bersamaan menjelaskan secara lebih lanjut dan rinci tentang tugas dan batasan bagi TNI, justru akan memunculkan terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan untuk menjaga keamanan (security) di satu sisi dengan keharusan melindungi dan menjamin kebebasan sipil (liberty) di sisi lain,” ujar Poengky dalam siaran pers pada Kamis (28/7).
Poengky menuturkan, jika pemerintah ingin tetap melibatkan TNI dalam menanggulangi terorisme, pelibatan tersebut harus mengacu pada Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Aturan itu menyebutkan, dalam menjalankan operasi militer selain perang untuk menanggulangi terorisme, operasi TNI harus didasarkan pada keputusan otoritas politik tertinggi. Selain itu, tugas tersebut juga harus bersifat membantu institusi kepolisian dan harus dituangkan dalam UU Tugas Perbantuan.
“Akan tetapi, sampai saat ini pemerintah dan DPR masih belum membuat UU Tugas Perbantuan, dan masih belum ada Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme,” tuturnya.
Poengky juga berpendapat tugas utama TNI harusnya sebagai penjaga pertahanan negara. Oleh karena itu, dengan melibatkan TNI dalam mencegah terorisme justru akan merendahkan kapabilitas TNI sebagai alat pertahanan negara, dan akan kembali menarik TNI untuk terlibat dalam isu sosial dan politik, seperti pada masa Orde Baru.
“Jadi, dengan ini Imparsial mendesak Presiden dan Parlemen untuk segera menghentikan langkah-langkah di luar konstitusi dan hukum untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme. Karena strategi penanggulangan terorisme itu harus diletakan dalam koridor-koridor demokrasi dan diletakan dalam rambu-rambu dengan pembagian tugas serta fungsi yang jelas terlebih dahulu,” tukasnya. (dbs/arrahmah.com)