JAKARTA (Arrahmah.com) – Keterlibatan TNI dalam pemberantasan ‘teroris’ tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi, jika masih ada yang menilai hal tersebut merupakan kemunduran demokrasi, maka orang itu tidak memahami undang-undang, demikian yang diungkapkan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono.
“Hal penting dalam pemberantasan terorisme adalah keterlibatan semua komponen bangsa, termasuk TNI. Jadi jika masih ada yang menilai keterlibatan itu merupakan kemunduran demokrasi, maka dia tidak memahami undang-undang,” katanya di Jakarta, pada acara penutupan latihan gabungan antiteror TNI-Polri 2011, Jumat (28/10/2011).
Lebih lanjut ia juga mengungkapkan bahwa Peran TNI dalam pemberantasan terorisme juga dikuatkan dalam UU No34/2004 tentang TNI khususnya pasal Operasi Militer Selain Perang.
Agus mengemukakan tugas pokok TNI pada hakekatnya berkaitan dengan tiga faktor utama yang mendasar yakni menjaga tetap tegaknya kedaulatan negara, memelihara keutuhan wilayah NKRI serta menjamin keselamatan bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia.
“Karena itu memberantas aksi-aksi terorisme bagi TNI merupakan kewajiban sebagaimana diamanatkan UU TNI dalam operasi militer selain perang,” tuturnya.
Jadi jika masih ada yang menilai keterlibatan itu merupakan kemunduran demokrasi, maka orang itu tidak memahami undang-undang, kata Panglima menegaskan.
Panglima TNI mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan kekuatan hukum bagi pelibatan dan perbantuan TNI dalam pemberantasan terorisme. Dengan menginstruksikan TNI untuk meningkatkan koordinasi dan sinergitas dengan Polri dan intelijen dalam penanggulangan aksi-aksi ‘teroris’.
Agus mengemukakan wujud perbantuan dan sinergitas itu dilaksanakan dalam bentuk pengaktifan kembali komando teritorial dalam menjaga keamanan di daerah-daerah serta menyiagakan pasukan antiteror untuk penindakannya.
Kesiapsiagaan yang dilakuakn aparat diklaim bukan awal dari tindakan represif tetapi merupakan bentuk deteksi dini, cegah dini untuk melindungi rakyat dan menjaga wibawa negara.
Hal ini tentu sangat bertentangan dengan kenyataan terkait peristiwa bom Solo beberapa waktu lalu. Pihak kepolisian mengaku telah menerima informasi dari intelejen terkait hal tersebut tetapi tak ada ‘aksi maksimal’ untuk menghentikan, justru aparat hanya menurunkan dua petugas di lapangan.
Terkait klaim tak melanggar demokrasi pada faktanya stigma teroris dan aksi ‘terorisme’ sdepertinya hanya dikhususkan kepada kaum Muslimin dan gerakan-gerakan Islam pro jihad, sementara terror-teror yang dilakukan kelompok diluar itu hanya disebut sebagai kriminalitas, maka wajar jika demokrasi telah dianggap bermuka dua untuk melakukan diskriminasi. Wallohua’lam. (dbs/arrahmah.com)