XINJIANG (Arrahmah.id) — Netizen dihebohkan dengan penangkapan oleh otoritas Cina terhadap warga muslim Xinjiang yang membaca al Quran di acara pernikahan.
Bekzat Maksutkhan, kepala kelompok pemantau hak asasi manusia yang berbasis di Kazakhstan, Atajurt, mengatakan petugas membekuk warga suka Kazakh bernama Kusman Rehim (56) pada 14 Juli lalu.
“Kusman Rehim ditangkap pada 14 Juli. Alasan utamanya adalah polisi menemukan Al Quran di rumah dia,” kata Maksutkhan, dikutip Radio Free Asia (25/8/2023).
Maksutkhan kemudian berujar, “Juga [alasan ditangkap] dia telah melantunkan ayat-ayat Al Quran di rumah warga saat Idul Adha dan di pernikahan warga Muslim.”
Adik Kusman, Bilal, juga mengonfirmasi penangkapan tersebut. Sang kakak sempat ditahan pada April kemudian dibebaskan, dan ditangkap lagi pada 14 Juli.
“Alasan pertama karena dia melantunkan Al Quran di perayaan pernikahan warga Muslim. Alasan kedua, polisi menemukan Al Quran di rumah dia,” kata Bilal
Bilal, yang tinggal di Kazakhstan, mengatakan keluarga belum menerima pemberitahuan resmi terkait penangkapan saudaranya. Hingga kini, mereka juga belum menerima informasi soal tuduhan yang menjerat Kusman.
“Mereka cuma membawa dia [Kusman],” ungkap Bilal.
RFA telah menghubungi kantor polisi Jimsar County di Xinjiang untuk meminta konfirmasi terkait penangkapan itu. Namun, mereka tak memberi penjelasan.
“Kami benar-benar tak tahu soal itu,” kata petugas yang mengangkat telepon.
Penangkapan ini terjadi saat Cina menerapkan signifikansi atau proses tindakan untuk membuat individu berada di bawah pengaruh Cina atau berkarakter Cina.
Di bawah program itu, penganut agama Islam, Kristen, dan agama lain harus tunduk terhadap aturan pemerintah.
Baru-baru ini, Cina juga mengumumkan kampanye “serangan keras” selama 100 hari di Xinjiang. Kampanye semacam ini biasanya mencakup penggerebekan polisi terhadap warga Uighur, pembatasan ketat terhadap praktik Islam, dan pembatasan budaya serta bahasa kelompok etnis minoritas.
Cina sebetulnya juga melarang pembacaan Al Quran sejak 2017. Langkah ini muncul usai pihak berwenang melakukan penahanan massal terhadap warga Uighur dan kelompok etnis lain di kamp penahanan di Xinjiang.
Pihak berwenang mengklaim bahwa kebiasaan warga Muslim seperti berjanggut, berjilbab hingga kelompok belajar Al Quran merupakan bukti “ekstremisme agama”. (hanoum/arrahmah.id)