DAMASKUS (Arrahmah.com) – Kekhawatiran terus meningkat di Barat setelah muncul laporan bahwa Bashar Al Assad kemungkinan siap untuk menggunakan senjata kimia demi menyelamatkan rezimnya, lansir Al Arabiya, Jumat (20/7/2012).
Pada Senin, Nawaf Fares, yang membelot dari jabatannya sebagai Duta Besar Suriah untuk Irak, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan BBC bahwa ia “yakin” Assad akan menggunakan cadangan senjata mematikan tersebut jika terdesak.
Komentarnya didukung oleh anggota Tentara Pembebasn Suriah.
Beberapa hari sebelumnya, Wall Street Journal mengatakan bahwa laporan intelijen memprediksikan adanya pergerakan senjata kimia, meskipun alasan tidak jelas.
Beberapa pejabat AS mengklaim khawatir senjata itu dapat digunakan terhadap pemberontak atau warga sipil, sementara yang lain percaya bahwa senjata-senjata tersebut sedang sengaja disembunyikan dari kelompok oposisi bersenjata atau kekuatan Barat.
Ada juga kekhawatiran bahwa senjata ini bisa jatuh ke tangan kelompok-kelompok radikal seperti Al Qaeda.
Tentara Bebaskan Suriah bahkan menyatakan bahwa senjata kimia telah digunakan selama konflik Suriah.
Pada kenyataannya, sangat sedikit yang mengetahui tentang senjata kimia Suriah sebagai negara yang bukan anggota Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia, yang mengharuskan negara-negara anggota harus transparan dan menghancurkan stok mereka.
“Informasi yang tersedia sangat lemah dan sering bertentangan,” kata seorang diplomat Barat, yang berbicara tanpa menyebut nama.
Kerahasiaan seputar stok senjata kimia Suriah ini telah mengguncang Israel, yang percaya bahwa pihaknya bisa menjadi sasaran langsung.
Wakil kepala staf umum Israel, Mayor Jenderal Yair Naveh, mengatakan pada bulan Juni bahwa Suriah memiliki “gudang senjata kimia terbesar di dunia.”
“Suriah memiliki rudal dan roket yang mampu mencapai setiap bagian dari wilayah Israel,” ia memperingatkan.
Suriah, bagaimanapun, tidak pernah menggunakan senjata kimia terhadap Israel, bahkan selama perang Libanon 1982.
Suriah diyakini memiliki stok dari gas sarin yang mematikan, serta cadangan sianida dan gas mustard, yang digunakan dalam Perang Dunia Pertama.
Para ahli memperkirakan program ini telah dikembangkan selama 40 tahun terakhir, awalnya dengan bantuan dari Uni Soviet dalam upaya untuk memperkuat kapasitas Suriah melawan Israel kemudian oleh Iran.
“Ada laporan bahwa Suriah telah mendapatkan manfaat dari penjualan dan transfer teknologi dari Iran,” kata Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS).
Studi lain yang dilakukan oleh Pusat Studi Nonproliferasi yang berbasis di California menunjukkan bahwa Suriah memiliki senjata kimia empat atau lima pabrik dekat dengan Damaskus, kota kedua dari Aleppo dan di provinsi Hama, salah satu pusat konflik.
Suriah dilaporkan menyelenggarakan latihan militer pada awal Juli, kata para pakar, termasuk praktek penembakan rudal Scud dan SS-21 yang dapat digunakan untuk memberikan senjata kimia.
AS mengatakan Jumat lalu bahwa para pejabat Suriah harus “bertanggung jawab” jika mereka gagal mengamankan senjata kimia negara itu di satu tempat yang bebas dari jangkauan ‘teroris’. (althaf/arrahmah.com)