Oleh: K. Subroto
(Arrahmah.com) – Kemunculan Kesultanan Demak tidak lepas dari kondisi Majapahit waktu itu yang mulai melemah. Dimulai dari civil war (Perang Paregreg) yang mengakibatkan disintegrasi kerajaan Majapahit dan menyebabkan penderitaan bagi penduduknya. Penderitaan mereka semakin bertambah dengan adanya berbagai bencana alam (disaster): bencana “banyu pindah”, bencana “pagunung anyar”, peristiwa letusan gunung api (guntur pawatugunung), dan bencana kekeringan. Situasi memburuk dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan di wilayah tersebut.
Walisongo yang berasal dari mancanegara (negeri atas angin) kemudian melakukan beberapa usaha untuk memberikan bantuan, antara lain dengan bantuan kemanusiaan, bantuan pengobatan, membangun infrastruktur pertanian seperti membangun irigasi dan bercocok tanam. Selain itu, mereka juga melakukan dakwah pada masyarakat setempat yang saat itu sedang menderita.
Usaha ini terus berkelanjutan hingga puluhan tahun. Masyarakat sangat menerima dakwah dan nilai-nilai Islam yang mereka bawa. Keluhuran nilai Islam lebih memanusiakan mereka dengan penghapusan sistem kasta di masyarakat, di mana manusia tidak dinilai dari tampilan fisik, kekayaan, serta pangkat kekuasaan mereka. Konsep ketuhanan dan ritual Islam juga lebih sederhana dan mudah dipahami. Tak hanya itu, Walisongo juga memberi teladan dalam hal keluhuran akhlak. Interaksi ekonomi yang dilakukan oleh pedagang muslim dengan masyarakat setempat juga menjadi faktor lain yang berperan terhadap penyebaran agama Islam.
Penyebaran agama Islam juga dilakukan dengan cara mendirikan masjid dan tempat pendidikan Islam. Selain itu, mereka juga melakukan pendekatan politik, dengan cara mengajak para penguasa waktu itu untuk masuk Islam. Sebagian penguasa menerima, namun Raja Majapahit menolak. Meski demikian, ia memberikan sebidang tanah kepada Walisongo sebagai tempat tinggal yang kemudian dijadikan sebagai pusat dakwah dan pendidikan. Ia juga memberikan kebebasan kepada Walisongo untuk berdakwah di seluruh wilayah kekuasaan Majapahit. Kebijakan ini dipengaruhi oleh hegemoni China saat itu, di mana utusan yang dikirim ke Majapahit secara berkala sebagian besar beragama Islam. Majapahit sendiri berkewajiban untuk mengirimkan upeti ke Dinasti Ming di China. Pendekatan lain dilakukan dengan cara pernikahan antara keluarga Walisongo dan umat Islam lainnya dengan keluarga para penguasa yang beragama Islam.
Setelah putra Raja Majapahit, Raden Patah, yang beragama Islam mendapat sebidang tanah di Glagah Wangi, Bintoro, Walisongo meningkatkan upaya pendekatan politiknya. Raden Patah bersama Walisongo kemudian membangun dan mengembangkan wilayah tersebut. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan, wilayah tersebut akhirnya dikukuhkan sebagai Kadipaten Demak Bintoro oleh Raja Majapahit.
Kemajuan Demak diiringi dengan mulai merosotnya kerajaan Majapahit. Konflik politik dan perebutan kekuasan di Majapahit membuat kekuatan mereka semakin melemah. Banyak wilayah yang melepaskan diri karena memandang pusat sudah tidak bisa lagi mengayomi dan melindungi mereka sebagaimana mestinya. Di fase inilah Kadipaten Demak berusaha menyiapkan diri untuk membuat tatanan baru di tanah Jawa.
Jihad Walisongo yang pertama dilakukan dengan menyerang Girindra Wardhana, penguasa wilayah Kediri yang merebut kekuasaan Majapahit dari Brawijaya V. Panglima dari jihad ini adalah Sunan Ngudung, ayah dari Sunan Kudus. Namun, usaha pertama ini berujung pada kekalahan. Jihad kedua juga mereka lakukan dengan panglima dan musuh yang sama. Sebagaimana jihad pertama, usaha jihad kedua ini juga berujung pada kekalahan.
Setelah mengalami dua kali kekalahan, Raden Patah dan Walisongo melakukan evaluasi. Kesimpulan mereka, salah satu faktor utama yang menyebabkan kekalahan tersebut adalah lemahnya intelijen mereka. Selanjutnya, mereka meningkatkan kemampuan prajurit dan persenjataan.
Dengan persiapan yang lebih matang, mereka melakukan jihad yang ketiga yang dipimpin oleh Sunan Kudus. Dalam jihad ini mereka dibantu oleh pejuang asing (foreign fighters) dari berbagai wilayah di nusantara dan negeri atas angin. Dengan izin Allah, kali ini kemenangan berhasil mereka dapatkan. Mereka berhasil menduduki pusat kota kerajaan Majapahit.
Setelah itu Demak dideklarasikan sebagai kesultanan dengan Raden Patah sebagai pemimpinnya. Gelar beliau adalah Sultan Fattah Syeh Alam Akbar Panembahan Jimbun Abdul Rahman Sayyidin Panatagama Sirullah Khalifatullah Amiril Mukminin Hajjuddin Khamid Khan Abdul Suryo Alam di Bintoro Demak.
Langkah awal yang mereka lakukan adalah mengumumkan dasar negara dan konstitusi yang berlaku di Kesultanan Demak. Dalam hal ini, mereka menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar negara. Mereka memberlakukan syariat Islam yang dikodifikasikan dalam Kitab Angger-Angger Surya Alam dan Salokantara.
Dalam menjalankan politik luar negeri, Kesultanan Demak melakukan jihad melawan Portugis di Malaka dan Sunda Kelapa. Mereka juga melakukan jihad atas wilayah bekas Majapahit yang tidak mau tunduk pada Kesultanan Demak. Kapasitas mereka untuk melakukan kebijakan luar negeri semacam itu ditunjang oleh kemampuan ekonomi yang kuat. Demak pun berkembang menjadi kekuatan ekonomi dan militer baru di tanah Jawa. Dengan kekuatan tersebut, mereka mampu membuat sebuah tatanan baru (new order) di tanah Jawa yang berdasarkan syariat Islam menggantikan tatanan lama (old order) yang dipimpin oleh kerajaan Majapahit.
Menurut WS. Rendra dalam pidato Megatruh-nya, “Pada masa Kesultanan Demak, orang-orang Jawa menguasai setiap jengkal dari tanahnya. Tak ada kekuatan asing yang bisa melecehkan kedaulatan tanah air mereka. Demak bebas dari kekuasaan asing. Semarang dan Jepara menjadi tempat galangan kapal yang memprodusir kapal-kapal besar dan kecil dalam produktivitas yang tinggi. Ini semua karena mereka merasa punya jaminan kepastian hidup. Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera dalam kitab “Salokantara” dan “Jugul Muda” ialah kitab UU Demak yang punya landasan syari’ah Agama Islam, yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun. Tetapi mereka adalah pahlawan bangsa yang telah memperkenalkan daulat hukum kepada bangsanya.”
Secara de facto dan de jure, Kesultanan Demak adalah negara yang berdasar Syariat Islam pertama di tanah Jawa.
(*/arrahmah.com)