KOPENHAGEN (Arrahmah.com) – Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, berakhir dengan sebuah “Kesepakatan Kopenhagen” pada Sabtu (19/12) sore. Setelah debat dua minggu, konferensi ini berhasil membuat kesepakatan yang tak mengikat (AS dan negara-negara maju lainnya) untuk ‘mencegah pemanasan global’.
Kesepakatan ini terjalin setelah Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dan pemimpin China melakukan diplomasi berjam-jam pada Jumat dan Sabtu lalu untuk menghasilkan kesepakatan program bantuan iklim untuk negara-negara miskin. Namun, meski disepakati pemotongan lebih besar emisi karbon dioksida dan gas lainnya, tak ada kewajiban mengikat para pihak. Mereka hanya harus duduk bersama lagi tahun depan.
Namun Associated Press melaporkan, Ketua Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Iklim, Yvo de Boer, menyatakan kesepakatan ini menakjubkan. “Meski bukan sebuah kesepakatan yang mengikat secara hukum, bukan sebuah kesepakatan yang membuat negara-negara industri membuat target,” ujarnya.
Terdapat sebuah kesepakatan internasional yang mengikat, sebuah perjanjian, mendesak pemotongan lebih jauh emisi oleh negara-negara maju. Perjanjian ini dijalin di Konferensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007, yang mengikat para negara itu untuk duduk bersama lagi di Kopenhagen.
Sebuah perjanjian baru didesakkan setelah Protokol Kyoto tahun 1997 telah mengikat 37 negara untuk mengurangi emisi secara perlahan berakhir pada 2012. Banyak pihak berharap sebuah perjanjian baru muncul di Kopenhagen setelah Amerika Serikat menolak Protokol Kyoto.
Namun harapan baru di Kopenhagen itu mengabur setelah legislasi pertama di era Obama disahkan dengan susah-payah di Kongres. Tanpa komitmen Amerika, sebuah perjanjian baru akan sulit dihasilkan.
Tapi pada akhirnya, beberapa negara yang menghasilkan emisi besar menyetujui rencana pengurangan. Uni Eropa berkomitmen memotong 20 persen emisi pada 2020, Jepang 25 persen dan sementara Amerika hanya berkomitmen 3-4 persen.
Untuk pertama kalinya, China berkomitmen pengurangan pengeluaran gas rumah kaca, berjanji mengurangi “intensitas karbon”, dan pengurangan bahan bakar fosil antara 40-45 persen. Sementara India, Brasil dan Afrika Selatan memiliki komitmen sukarela tersendiri.
Komitmen China dengan pengurangan emisi dari bahan bakar fosil ini sendiri dinyatakan para ilmuwan berperan kecil dalam mengurangi kenaikan suhu. Sementara perubahan iklim diduga akan memunculkan bencana-bencana serius di masa depan, mulai dari banjir pasang sampai kepunahan spesis.
Berikut beberapa Kesepakatan Kopenhagen:
- Bangsa-bangsa sepakat bekerjasama mengurangi emisi dengan “sudut pandang” para ilmuwan peringatkan tentang mencegah temperatur naik 2 derajat Celcius.
- Negara-negara berkembang akan melaporkan setiap dua tahun aksi sukarela mengurangi emisi. Laporan ini akan tunduk pada “analisis dan konsultasi internasional”.
- Negara-negara kaya akan mendanai US$10 miliar pertahun, program tiga tahun mendanai negara-negara miskin proyek-proyek menangani banjir dan dampak perubahan iklim dan pengembangan energi bersih.
- Para pihak menyusun sebuah “tujuan” mengumpulkan dana US$ 100 miliar pertahun pada tahun 2020 untuk program pencegahan perubahan iklim. (ap/viva/arrahmah.com)
KOPENHAGEN (Arrahmah.com) – Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, berakhir dengan sebuah “Kesepakatan Kopenhagen” pada Sabtu (19/12) sore. Setelah debat dua minggu, konferensi ini berhasil membuat kesepakatan yang tak mengikat (AS dan negara-negara maju lainnya) untuk ‘mencegah pemanasan global’.
Kesepakatan ini terjalin setelah Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dan pemimpin China melakukan diplomasi berjam-jam pada Jumat dan Sabtu lalu untuk menghasilkan kesepakatan program bantuan iklim untuk negara-negara miskin. Namun, meski disepakati pemotongan lebih besar emisi karbon dioksida dan gas lainnya, tak ada kewajiban mengikat para pihak. Mereka hanya harus duduk bersama lagi tahun depan.
Namun Associated Press melaporkan, Ketua Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Iklim, Yvo de Boer, menyatakan kesepakatan ini menakjubkan. “Meski bukan sebuah kesepakatan yang mengikat secara hukum, bukan sebuah kesepakatan yang membuat negara-negara industri membuat target,” ujarnya.
Terdapat sebuah kesepakatan internasional yang mengikat, sebuah perjanjian, mendesak pemotongan lebih jauh emisi oleh negara-negara maju. Perjanjian ini dijalin di Konferensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007, yang mengikat para negara itu untuk duduk bersama lagi di Kopenhagen.
Sebuah perjanjian baru didesakkan setelah Protokol Kyoto tahun 1997 telah mengikat 37 negara untuk mengurangi emisi secara perlahan berakhir pada 2012. Banyak pihak berharap sebuah perjanjian baru muncul di Kopenhagen setelah Amerika Serikat menolak Protokol Kyoto.
Namun harapan baru di Kopenhagen itu mengabur setelah legislasi pertama di era Obama disahkan dengan susah-payah di Kongres. Tanpa komitmen Amerika, sebuah perjanjian baru akan sulit dihasilkan.
Tapi pada akhirnya, beberapa negara yang menghasilkan emisi besar menyetujui rencana pengurangan. Uni Eropa berkomitmen memotong 20 persen emisi pada 2020, Jepang 25 persen dan sementara Amerika hanya berkomitmen 3-4 persen.
Untuk pertama kalinya, China berkomitmen pengurangan pengeluaran gas rumah kaca, berjanji mengurangi “intensitas karbon”, dan pengurangan bahan bakar fosil antara 40-45 persen. Sementara India, Brasil dan Afrika Selatan memiliki komitmen sukarela tersendiri.
Komitmen China dengan pengurangan emisi dari bahan bakar fosil ini sendiri dinyatakan para ilmuwan berperan kecil dalam mengurangi kenaikan suhu. Sementara perubahan iklim diduga akan memunculkan bencana-bencana serius di masa depan, mulai dari banjir pasang sampai kepunahan spesis.
Berikut beberapa Kesepakatan Kopenhagen:
- Bangsa-bangsa sepakat bekerjasama mengurangi emisi dengan “sudut pandang” para ilmuwan peringatkan tentang mencegah temperatur naik 2 derajat Celcius.
- Negara-negara berkembang akan melaporkan setiap dua tahun aksi sukarela mengurangi emisi. Laporan ini akan tunduk pada “analisis dan konsultasi internasional”.
- Negara-negara kaya akan mendanai US$10 miliar pertahun, program tiga tahun mendanai negara-negara miskin proyek-proyek menangani banjir dan dampak perubahan iklim dan pengembangan energi bersih.
- Para pihak menyusun sebuah “tujuan” mengumpulkan dana US$ 100 miliar pertahun pada tahun 2020 untuk program pencegahan perubahan iklim. (ap/viva/arrahmah.com)