KHARTOUM (Arrahmah.id) – Serangan udara dan bentrokan antara faksi-faksi yang bertikai di Sudan terdengar di ibu kota Khartoum pada Ahad (21/5/2023), kata penduduk, setelah kesepakatan yang ditengahi oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat untuk gencatan senjata selama sepekan meningkatkan harapan akan adanya jeda dalam konflik yang telah berlangsung selama lima pekan.
Kesepakatan yang ditandatangani pada Sabtu oleh tentara dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter saingannya setelah pembicaraan di kota Jeddah, Arab Saudi, akan mulai berlaku pada Senin malam (22/5) dengan mekanisme pemantauan yang didukung secara internasional. Hal ini juga memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan.
Pengumuman gencatan senjata yang berulang kali dilakukan sejak konflik dimulai pada 15 April telah gagal menghentikan pertempuran, namun kesepakatan Jeddah menandai pertama kalinya kedua belah pihak menandatangani perjanjian gencatan senjata setelah negosiasi.
Para analis mengatakan bahwa tidak jelas apakah Panglima Angkatan Darat Abdel Fattah Al-Burhan atau Komandan RSF Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti, mampu menegakkan gencatan senjata di lapangan. Keduanya sebelumnya telah mengindikasikan bahwa mereka mencari kemenangan dalam perang, dan tak satu pun dari mereka melakukan perjalanan ke Jeddah.
Tentara dan RSF menegaskan kembali komitmen mereka terhadap gencatan senjata dalam pernyataan pada Ahad (21/5), bahkan ketika pertempuran terus berlanjut.
Para saksi mata melaporkan bentrokan sporadis di pusat dan selatan Khartoum pada Ahad pagi, diikuti oleh serangan udara dan tembakan anti-pesawat pada siang harinya di Khartoum timur dan Omdurman, salah satu dari tiga kota yang membentuk ibu kota yang lebih besar.
Sejak perang dimulai, 1,1 juta orang telah meninggalkan rumah mereka, baik di dalam Sudan maupun ke negara-negara tetangga, menciptakan krisis kemanusiaan yang mengancam kestabilan wilayah tersebut.
Mereka yang masih berada di Khartoum berjuang untuk bertahan hidup di tengah penjarahan massal, runtuhnya layanan kesehatan, dan menipisnya persediaan makanan, bahan bakar, listrik, dan air.
Safaa Ibrahim, seorang warga Khartoum berusia 35 tahun, mengatakan kepada Reuters melalui telepon bahwa ia berharap kesepakatan tersebut dapat mengakhiri konflik.
“Kami lelah dengan perang ini. Kami telah diusir dari rumah kami, dan keluarga kami telah terpencar-pencar di berbagai kota di Sudan dan Mesir,” katanya.
“Kami ingin kembali ke kehidupan normal dan aman. Al-Burhan dan Hemedti harus menghormati keinginan orang untuk hidup.”
Menurut teks kesepakatan Jeddah, sebuah komite yang terdiri dari tiga perwakilan dari masing-masing pihak yang bertikai, tiga dari Arab Saudi dan tiga dari Amerika Serikat akan memantau gencatan senjata. (haninmazaya/arrahmah.id)