Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
(Arrahmah.com) – Jelang penutupan Dolly 19 Juni mendatang mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Termasuk mendapat perhatian serius dari Pemkot Surabaya. Melalui Satpol PP, pemerintah kota tetap melakukan pengawasan rutin terhadap eks lokalisasi di Kota Pahlawan yang sudah dialihfungsikan, maupun yang akan ditutup, seperti Gang Dolly dan Jarak. Kekhawatiran penyebaran virus HIV/AIDS maupun melubernya prostitusi jalanan di Kota Surabaya, Jawa Timur pasca-penutupan kedua lokalisasi tersebut.
Penutupan Dolly ini mendapat reaksi dari Para Pekerja Seks Komersial (PSK), mucikari dan warga sekitar lokalisasi Dolly, kembali melakukan aksi demo menolak rencana penutupan Dolly. Bahkan dalam aksi tersebut dalam spanduk bertuliskan “Harga Mati Tolak Penutupan Lokalisasi”. Front Pekerja Lokalisasi (FPL) tetap menolak rencana penutupan Dolly. Mereka tidak nyaman dengan janji-janji yang diberikan Pemkot Surabaya termasuk pesangon maupun rencana Dinas Tenaga Kerja memasukkan mereka ke perusahaan. (surabayakita.com, 26/05/2014)
Sebelumnya Dinas Tenaga Kerja Surabaya akan menyalurkan mereka ke 80 perusahaan yang ada di Surabaya. Hanya sampai saat ini hal itu masih disanksikan sebab belum ada jaminan buruh mendapat kesejahteraan yang layak.
Buah Sistem
Kasus Dolly di atas adalah salah satu kasus yang mencuat dari sekian banyak kasus lainnya yang berkaitan langsung dengan permasalahan perempuan di negeri ini. Tepatnya di bulan Juni ini adalah Hari Keluarga Nasional (Harganas) dengan tema “Melalui Hari Keluarga, Kita Tingkatkan Kualitas Keluarga dalam Mewujudkan Indonesia Sejahtera.”
Tema itu begitu indah dalam benak harapan semua keluarga di negeri ini. Tapi pertanyaannya, apakah harapan itu bisa terwujud di tengah kondisi sekarang ini ?
Menjelang Pemilu Presiden 9 Juli 2014 banyak masyarakat yang berharap pemimpin negeri ini akan peduli dengan berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat, seperti; mengatasi kekerasan anak, kesejahteraan keluarga, mewujudkan kota layak anak, dan lain-lain.
Jika kita telaah berbagai permasalahan yang menjadi trending topic akhir-akhir ini adalah tentang kekerasan anak, dan ini sangat erat hubungannya dengan kesejahteraan keluarga. Kondisi keluarga akan berkontribusi pada permasalahan anak-anak. Proses ini tidak terlepas dari sistem yang digunakan yaitu demokrasi. Seperti harapan kota layak anak, dalam sistem demokrasi mustahil terwujud karena membiarkan “pornografi-pornoaksi merajalela”, lokalisasi tumbuh subur, investasi berorientasi materialistis-hedonis (Mall, Ajang Pencarian Bakat, dll). Anak jalanan terbebas dari kriminal, mustahil terwujud karena demokrasi telah memfasilitasi kebebasan kepemilikan dan perilaku “yang kuat yang menang”.
Demokrasi dipercaya sebagai sistem politik yang akan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi aspirasi masyarakat. Rakyat, melalui wakilnya, berhak menetapkan peraturan perundangan-undangan guna mengatur semua aspek kehidupan masyarakat dan negara. Pemimpin yang telah dipilih oleh rakyat pun diyakini akan bekerja demi kepentingan dan mewakili rakyat banyak. Demikian pula sistem ekonomi kapitalisme liberal dipercaya akan memberikan kesempatan yang sangat luas bagi para pelaku ekonomi untuk melakukan investasi dan mengembangkan usahanya. Dengan cara itu diyakini ekonomi akan terus bertumbuh dan terjadi pemerataan pendapatan.
Tapi pada kenyataannya, bukan aspirasi rakyat yang mengemuka. Dari anggota parlemen yang notabene adalah wakil rakyat, justru banyak sekali lahir peraturan perundangan yang merugikan rakyat. Juga sangat banyak kebijakan pemerintah, yang mestinya bekerja untuk rakyat, justru menunjukkan keberpihakkan bukan kepada rakyat. Atas nama demokrasi, rakyat dipaksa untuk mengikuti semua peraturan perundangan dan kebijakan politik penguasa, meski semua itu justru merugikan rakyat, bangsa, dan negara.
Sementara, melalui proses politik demokrasi lahir pula peraturan yang menguntungkan para pemilik modal. Pihak asing yang notabene penghisap kekayaan negeri ini, lebih dihormati dari pada rakyatnya sendiri. Walhasil, alih-alih tercipta kesejahteraan bersama, kesejahteraan yang didengung-dengungkan hanya “kesejahteraan semu”, yang ada justru makin meningkatnya kesenjangan kelompok kaya dan miskin. Pertumbuhan ekonomi dalam sistem kapitalisme liberal ternyata hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Islam punya solusi
Bila kondisi seperti ini terus berlanjut, negeri yang kaya akan kekayaan alam ini akan kehilangan berbagai sumber yang sejatinya mensejahterakan rakyatnya. Akankah kita menunggu hal itu terjadi? Dan masihkah percaya pada demokrasi dan sistem ekonomi liberal seperti saat ini ?
Negeri ini sangat membutuhkan sistem yang shahih untuk menggantikan sistem kapititalisme-sekuler yang terbukti rusak. Gonta-ganti penguasa saja tanpa disertai perubahan sistem terbukti tidak menghasilkan perubahan ke arah yang lebh baik. Tapi justru semakin buruk dan terus semakin memburuk.
Maha benar Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan firmanNya :
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ
“Akan tetapi, siapa saja yang menolak untuk mengikuti Rasul dan kitab-kitab suci-Ku, maka ia sungguh akan hidup sesat. Pada hari kiamat kelak, kami kumpulkan orang-orang sesat dalam keadaan buta.” (Tarjamah Tafsiriyah, QS.Thaha [20] : 124)
Islam adalah dien yang sempurna, mengatur semua aspek kehidupan. Solusi Islam selalu mendasarkan pada akidah Islam dan Syariatnya. Solusi Islam juga mengusung sistem bernegara sebagai wadahnya. Oleh karena itu, Khilafah Islamiyah ‘Ala Minhajin Nubuwwah menjadi keharusan bagi pencegahan dan solusi secara tuntas dari setiap permasalahan.
Sistem ekonomi Islam, memberi jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok per individu rakyat, sehingga menghilangkan beban yang memicu kekerasan termasuk kepada keluarga. Tidak seperti sekarang problema tiada henti, seperti kasus incest (hubungan seksual yang terjadi pada pasangan yang memiliki hubungan darah) banyak terjadi karena kondisi rumah yang tidak layak, ibu menjadi TKW pisah dengan suami demi meneruskan hidup, belum lagi tingkat ekonomi yang kurang hingga akhirnya menjadi beban ekonomi yang memicu emosi.
Jumlah penduduk yang banyak, bagi Khilafah Islamiyah tidak dianggap beban namun sebagai potensi yang akan dibina untuk berkualitas secara fisik, psikis dan intelektualitas untuk menjadi manusia yang bermartabat, bukan sebagai aset ekonomi negara/beban pembangunan yang dalam demokrasi harus diturunkan jumlahnya.
Tidakkah kita ingin menerima berkah Allah Subhanahu Wa Ta’ala sesuai firmanNya dalam TQS al-A’raf [7):6]; “Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi….”
Untuk meraih kesejahteraan itu, tidak lain dan tidak bukan hanya dengan kembali kepada Syariah Islam dalam setiap aktivitas kita. Wallâhu a’lam bish-shawâb
(azm/arrahmah.com)