Raqqah adalah sebuah penjara yang kejam, warganya secara perlahan mati kelaparan, terlebih lagi bom pasukan asing juga menambah penderitaan mereka, ungkap seorang warga Raqqah yang telah mengungsi untuk menghindari kelompok “Daulah Islamiyah”, atau Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS, yang mengklaim Raqqah sebagai “ibukota daulah” mereka.
Dalam sebuah wawancara dengan MEE, Senin (30/11/2015), Abdullah K, yang belum lama ini menyelamatkan diri ke Eropa, mengatakan bahwa kota itu telah jatuh ke dalam jurang, di mana warganya menghadapi murka IS dan bombardir pasukan asing.
Komentarnya itu bertepatan dengan langkah para politisi Inggris yang tengah mempersiapkan diri mereka untuk memilih apakah akan memperpanjang aksi militer negara itu terhadap IS ke Suriah atau tidak. Raqqah, markas de facto kelompok IS, diklaim akan menjadi target utama aksi militer tersebut.
Kota ini sudah menderita di bawah serangan AS, Rusia dan yang paling baru Perancis, yang meningkatkan serangan udaranya pasca serangan IS bulan Oktober di Paris.
Berbicara kepada MEE dari perbatasan Yunani-Macedonia, Abdullah mengatakan kondisi warga Raqqah berada di ambang kelaparan.
“Hari ini, Raqqah bagai menghadapi mimpi buruk. IS dengan segala cara membuat penduduk sipil kelaparan dan itulah yang terjadi. Ketersediaan listrik menjadi begitu sulit. Air belum disanitasi sejak IS mengambil alih Raqqah.
“Pusat kota bagaikan kota hantu. Hanya rumah-rumah yang telah diambil alih secara paksa oleh anggota IS lah yang menerima pelayanan,” ungkap Abdullah menjelaskan diskriminasi yang mereka rasakan di Raqqah sejak kedatangan IS.
“Harga sekantung roti telah mencapai harga yang luar biasa,” ujar Abdullah. “Meskipun IS mengancam untuk memotong tangan siapa pun yang tertangkap mencuri, pencurian justru telah merajalela dan bahkan terjadi di siang bolong karena kasus kelaparan.”
Dia mengatakan terlebih pengeboman yang menyasar sipil semakin menambah kesengsaraan tersebut.
“Setiap intervensi militer oleh Inggris tidak akan menghentikan geng Asad, tapi semakin memperkeruh situasi,” katanya.
“Saya tidak mendukung segala bentuk intervensi yang tidak mengembalikan stabilitas dan membawa kami kembali ke negara kami, selain intervensi yang menyingkirkan Asad dan IS.”
Dia mengatakan bahwa serangan mendadak Rusia dan Perancis telah benar-benar gagal untuk menargetkan IS.
“Serangan udara Rusia seperti orang buta yang menyerang di mana-mana kecuali untuk daerah di mana IS berada,” katanya. “Sedangkan serangan Rusia malah menghujani warga sipil.
“[Sementara] serangan udara Perancis bersifat reaksioner, acak, dan tidak penuh perhitungan meski terkadang tidak ada warga sipil yang tewas dan serangan berhasil menargetkan basis IS.”
Lubang hitam Raqqah
Mantan penduduk Raqqah lainnya yang sekarang berbasis di Turki mengatakan kepada MEE mengenai bahaya bagi siapa pun yang berada di Raqqah.
“Tidak ada internet di rumah, internet hanya ada di kafe umum yang dioperasikan oleh IS,” katanya, meminta namanya dirahasiakan. “Jadi sangatlah berisiko untuk menyebutkan hal-hal tertentu untuk berbicara menentang mereka ketika mereka memantau segala sesuatunya.”
Karena cengkraman IS, mengonfirmasi banyak detail kehidupan di kota ini menjadi begitu sulit, apalagi mendengar cerita pengeboman dari perspektif warga sipil.
Kehidupan di Raqqah telah berubah sejak IS mengambil alih kota ini pada bulan Januari 2014, dengan populasinya jatuh dari dari satu juta menjadi hanya 400.000 orang.
Hukuman bagi mereka yang tidak mematuhi peraturan yang ketat telah menjadi realitas sehari-hari bagi warga.
Para aktivis di sana dieksekusi atau berhasil melarikan diri ke Turki – namun tidak berarti mudah untuk menyelamatkan diri mengingat IS melarang warga meninggalkan Raqqah tanpa izin mereka.
Sejumlah laporan telah beredar dari keluarga para anggota IS sendiri yang melarikan diri dari Raqqah ke Mosul dari serangan udara baru-baru ini. Para anggota IS juga telah pindah ke daerah-daerah sipil untuk bersembunyi di antara warga sipil, dan menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia.
Sebuah realitas yang berbeda
Situasi di Raqqah tampak begitu berbeda pada tahun 2013 ketika Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA) dan Mujahidin Ahrar Syam memukul mundur pasukan pemerintah Nushairiyah Suriah dari kota, dan kemudian dari provinsi. Di bawah pemerintahan FSA, Abdullah mengatakan, kehidupan Raqqah berlanjut normal.
“Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi tetap buka, dan bahkan lembaga pemerintah tetap berjalan di bawah koordinasi penuh antara FSA dan Ahrar Syam,” katanya.
Namun, pada bulan-bulan sebelum deklarasi “Daulah Islam” di Suriah dan Irak pada musim panas 2014, banyak aktivis dan tokoh terkenal di Raqqah yang diculik.
“Tidak diragukan lagi bahwa mereka diculik oleh anggota IS,” katanya. “Orang-orang – seperti aktivis dalam gerakan non-kekerasan dan bersenjata, kepala dewan kota, wali dewan kota, dan hakim legislatif – merupakan kekuatan pendorong untuk menyatukan jalan dan mengorganisir protes jalanan yang besar.
“Pada tanggal 10 Januari 2014, IS mengambil alih Raqqah. Sekolah-sekolah ditutup selama satu tahun dan dibuka kembali pada bulan Februari 2015, tetapi hanya untuk kelas sembilan. Seluruh kurikulum berubah dari menggunakan buku-buku ‘kafir’ menjadi buku-buku yang disetujui oleh IS.”
Menurut salah satu aktivis yang melarikan diri dari Raqqah pada bulan Oktober, kebanyakan orangtua khawatir terhadap pencucian otak anak-anak mereka dengan paham ekstrimis yang bisa dilakukan di sekolah-sekolah yang dikendalikan IS, sehingga mereka memilih home schooling untuk anak-anak mereka, meski langkah itu bisa beresiko hukuman mati.
Di tengah teror dan diskriminasi yang IS sodorkan kepada warga sipil Raqqah, memang ada beberapa laporan di mana IS juga mencoba menerapkan syariat Islam, namun cara mereka memaksa warga sipil dirasa bagai teror yang justru membuat warga awam begitu ketakutan dengan “kengerian syariat Islam” yang masih baru bagi mereka.
IS, kata para aktivis, bersumpah untuk membunuh guru-guru yang menjalankan sekolah swasta di luar pantauan IS, terutama untuk anak-anak perempuan.
Pemilik toko yang tidak menutup tokonya untuk shalat berjamaah akan dikenakan denda yang besar. Kaum perempuan dipaksa untuk memakai hijab yang menutup seluruh tubuh, ditambah pakaian tebal lain yang melapisinya.
Para pria diberhentikan di pos-pos pemeriksaan yang dijaga oleh banyak anggota IS dan penjaga patroli IS yang adang-kadang memerintahkan untuk menyerahkan ponsel mereka untuk melihat apakah mereka memiliki lagu atau menyimpan gambar perempuan tak berhijab di ponsel mereka.
Dengan beberapa hal itu, meski menghadapi kengerian dari berbagai arah setiap harinya, masih ada di antara mereka yang menyisakan harap bahwa mereka akan dapat melaluinya, kata Abdullah: “Keluarga saya masih di Raqqah, tabah dan menunggu pertolongan.”
(aliakram/arrahmah.com)