JAKARTA (Arrahmah.com) – Suriadi, relawan lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) ‘menyelinap’ dan menyaksikan langsung bagaimana kejadian yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine State, Myanmar.
Setiap kata yang terdengar dari bibir Suriadi seperti bergetar kala menceritakan kesaksiannya soal aksi pembantaian yang terjadi terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar. Maklum, baru sepekan ia tiba di Indonesia.
“Kondisi di sana benar-benar tragis. Pembantaian terjadi. Anak-anak, perempuan, manula semua menjadi korban,” ujar Suriadi seperti dikutip VIVA., Rabu, (13/9/2017).
Suriadi mengaku sulit melukiskan dengan kata-kata soal apa yang dilihatnya selama sepekan di Rakhine. Hatinya benar-benar terenyuh.
Ia hanya bisa membandingkan, jika pada tahun 2012 lalu ia pernah ke lokasi yang sama, maka tahun ini jauh berbeda.
“Tahun ini lebih ekstrem. Eskalasi kekerasan dan pembantaian ini mungkin akan berlangsung terus sampai tiga atau empat bulan ke depan,” ujar Suriadi.
Suriadi mengaku, selama sepekan di Rakhine, ia bersama tim dari Sympathy of Solidarity (SOS) Rohingya ACT, menyempatkan diri berkunjung ke beberapa kamp pengungsian yang difasilitasi pemerintah atau lembaga internasional.
Dari pengamatannya, terkesan ada perbedaan nasib antar pengungsi. Khususnya bagi mereka yang muslim dan non muslim, yakni Hindu atau Budha.
Itu ditemui Suriadi di beberapa kamp pengungsi yang tersebar di Sittwe, Myanmar. Setidaknya dari 12 kamp pengungsian yang ada, lanjut Suriadi, terdapat beberapa orang pemeluk Budha. Jumlahnya diperkirakan mencapai 900 orang.
Lalu ada juga pengungsi yang beragama Hindu, dengan estimasi jumlah mencapai 500 orang.
“Di kamp-kamp Budhis atau Hindu ini, orang-orang bisa bebas beraktivitas. Mereka bisa bekerja, berjualan, dan lain-lain. Pengamanan juga tidak ketat,” ujar Suriadi.
Namun, kondisi berbeda untuk para pengungsi Muslim Rohingya. Suriadi mengaku, akses untuk ke kamp ini begitu sulit dan berlapis. Hidup para pengungsi juga begitu memprihatinkan.
“Ini aneh. Dan kami melihat dengan mata kepala kami sendiri. Tidak ada masjid dan tidak ada azan di sini,” ujar Suriadi.
Kesaksian lain yang juga mengejutkan Suriadi, adalah merebaknya kabar palsu yang terkesan diorganisir di wilayah Rakhine.
Ini ditemukan Suriadi dalam sejumlah laporan di media lokal, yang menjadi sumber awal informasi mereka di lapangan. Ternyata begitu berbeda dengan yang ada di lokasi.
“Di media dilaporkan, orang-orang Rohingya ini membakar rumah mereka sendiri. Namun ini sangat tidak mungkin,” ujar Suriadi.
Tak cuma itu, salah satu yang cukup mengejutkan adalah tidak adanya kepedulian warga lain yang berada di Myanmar. Ini didapatinya ketika ia iseng menanyakan langsung kepada warga yang ditemuinya saat tiba di Yangon Myanmar tentang bagaimana kondisi di Rakhine.
“Ditanya, mereka menjawab tahu (kondisi Rakhine). Tapi gimana ya, senyap aja gitu,” ujar Suriadi.
Bahkan, kata Suriadi, dalih militer Myanmar yang mengaku sedang memburu teroris yang disebutnya dari kelompok The Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), juga tak sepenuhnya bisa dipercaya.
Sebabnya, dalam kenyataannya di Rakhine, militer setempat hanya ingin membersihkan wilayah Rakhine dari para penduduk yang didominasi etnis Rohingya.
“Bayangkan saja, orang mempertahankan rumahnya malah disebut teroris. Ini nyata. Pembantaian dan pembunuhan itu bukan hoaks,” ujar Suriadi.
Kini Suriadi mengaku begitu sedih mengingat yang dialaminya meski cuma sepekan di jantung kekerasan etnis Rohingya.
Meski mengaku tak trauma, namun baginya pengalaman ini menjadi sebuah kisah kelam yang benar-benar membekas. “Insya Allah, dengan Bismillah, saya terima dengan segala konsekuensinya,” ujar Suriadi.
(azm/arrahmah.com)