Ayshamgul (bukan nama sebenarnya), seorang warga Tionghoa yang memiliki enis Uighur, ditahan di “kamp re-edukasi” di Daerah Otonomi Xinjiang (XUAR) Cina sebanyak dua kali pada tahun 2017 dan kemudian ditahan secara virtual selama hampir satu tahun setelah mengunjungi negara asal suaminya, Pakistan.
Pakistan menjadi salah satu dari beberapa negara yang masuk daftar hitam pemerintah Cina karena dianggap dapat menimbulkan ancaman ekstrimisme agama.
Ayshamgul dalam sebuah wawancara mengatakan kepada RFA bahwa dia mengalami kondisi yang menyedihkan di dalam kamp, yang diyakini telah menahan lebih dari 1 juta orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya dari seluruh XUAR sejak April 2017 karena dituduh memiliki paham “ekstrimisme agama” dan “berbeda haluan politik”.
Ayshamgul mengatakan bahwa dia sekarang sering mengalami kecemasan dan panik sebagai akibat dari pelecehan mental dan pemukulan yang dideritanya selama di kamp penahanan.
Saya menikah dengan seorang pria Pakistan. Saya ditahan dari rumah saya di Urumqi pada 8 April 2017 karena mengunjungi Pakistan. Saya ditahan bersama dengan 160 orang untuk menjalani proses “re-edukasi” dan dibebaskan pada bulan Juni. Namun, pada bulan Juli di tahun yang sama, saya ditahan lagi hingga bulan September 2017.
Kondisi pusat re-edukasi tempat saya ditahan sangat mengerikan. Ada beberapa orang yang ditahan di sana berusia sekitar 80-96 tahun. Kami dipaksa untuk belajar ideologi politik selama 14 jam setiap hari. Kami akan dibangunkan jam 5:00 pagi untuk membersihkan sel. Kami hanya diizinkan tidur mulai pukul 9:00 malam. Makanannya benar-benar buruk.
Situasi di dalam sel sangat tragis. Setiap dua hari sekali kami disiksa dan dipaksa mengakui “kesalahan” kami. Beberapa orang di antara kami ada yang disiksa dengan dicabut kukunya. Ada juga yang dibawa pergi pada malam hari dan kami tidak akan pernah melihatnya lagi.
Setiap sel berisi 70-80 orang, dikelilingi dengan kawat berduri serta penjaga bersenjata di pintu. Kami tidak punya kebebasan di sana. Kami tidak diizinkan untuk berbicara satu sama lain, dan ada kamera di mana-mana bahkan di kamar mandi.
Para pembimbing kami memberi tahu bahwa jika kami melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kami lakukan, atau bahkan berbicara satu sama lain, maka penjaga memiliki hak untuk menembak kami.
Awalnya, mereka menampung 160 orang yang mengunjungi negara-negara asing bersama di sebuah sekolah dasar, tetapi kemudian kami dipindahkan ke sanatorium selama 16 hari. Ada 50 hingga 60 orang di setiap kamar. Mereka tidak memberi kami selimut. Kadang-kadang saya bisa tidur di tempat tidur, tetapi di lain waktu saya harus tidur di lantai.
Yang terakhir, saya dipindahkan sebuah tempat yang menampung sekitar 4.000 orang. Mereka menempatkan 24 orang di setiap kamar. Hanya ada lima tempat tidur di kamar, jadi kami harus tidur berhimpitan agar pas. Tiap kamar memiliki kamera, jadi kami tidak diizinkan untuk berbicara atau bahkan berganti pakaian. Karena pengalaman ini, saya selalu dihinggapi rasa takut. Saya selalu bermimpi tentang penderitaan yang saya alami di kamp. (Rafa/arrahmah.com)