JAKARTA (Arrahmah.com) – Kawasan Asia Pasifik dalam beberapa tahun terakhir semakin memanas. Isu-isu seperti peluncuran rudal Korea Utara, pertikaian Cina dengan beberapa negara di Laut Cina Selatan dan berdirinya Pangkalan Militer Amerika Serikat di Guam, seakan membuat kawasan Lautan Pasifik jauh dari julukannya sebagai lautan teduh.
Beberapa pengamat bahkan memprediksi, jika nantinya Perang Dunia III terjadi, perang tersebut nantinya akan berlokasi di kawasan ini.
Suasana ini pun seharusnya menjadi fokus tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Namun, sayangnya kesadaran geopolitik yang dimiliki oleh elite politik tanah air masih jauh dari yang diharapkan.
“Contohnya investasi Cina di Bitung, kalau dicermati wilayah ini kan disasar cina untuk pintu masuk ke Asia Pasifik, Cina juga ingin mengimbangi Amerika di Darwin. Kita hanya melihat 100 Triliun melalui investasi di Bitung,” ungkap Ahli Geopolitik Hendrajit dalam peluncuran buku ‘Perang Asimetris & Skema Penjajahan Gaya Baru’ di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK), Jakarta, Selasa (24/5/2017).
Menurut Pemimpin Redaksi Aktual ini, pemerintah seolah telah mengabaikan potensi yang dimiliki Indonesia sehingga kebijakan yang dibuatnya sering kali justru merugikan negara.
Pun demikian dengan berbagai kebijakan yang bersifat bilateral, khususnya kerja sama dengan Republik Tiongkok. Pemerintah, lanjutnya, hanya mengenakan aspek ekonomi belaka.
“Pada Kereta Api Cepat oleh Cina, para elite kita lebih menyasar aspek ekonomi dari rute kereta Jakarta-Bandung, sumur-sumur minyak juga jatuh ke swasta. Kita harus tahu dulu, jangan langsung dikontrakkan begitu saja karena selain berakibat fatal soal ekonomi, fatal juga secara apolitik,” urainya.
Secara geografi, posisi Indonesia sendiri memang sangat strategis karena berada di antara dua samudera dan dua benua. Hal ini ditambah dengan kekayaan alam luar biasa yang dimiliki oleh Indonesia.
Hal-hal di atas membuat Indonesia selalu menjadi incaran negara-negara adi daya dalam menancapkan pengaruhnya di tanah air. Indonesia pun disebut Hendrajit sedang mengalami penjajahan dengan skema baru yang berbeda jika dibandingkan penjajahan Belanda dulu.
“70% UU sudah pro asing, baik mengenai migas, kelistrikan maupun pertanian. Kenapa bisa begitu? Karena di elite politik kita itu tidak punya kesadaran geopolitik,” tandasnya.
Permasalahan ini, lanjutnya, dapat saja dihindari jika seluruh komponen bangsa menyadari hal yang sedang terjadi. Penjajahan jenis baru yang sedang terjadi ini tidak akan pernah selesai jika seluruh komponen bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat tidak mengetahui duduk perkara secara menyeluruh.
Ia berharap agar masyarakat nantinya dapat menyadari penjajahan yang dilakukan engara-negara adi daya, baik Jepang, Cina atau Amerika. Hal ini disebutnya menjadi langkah awal untum membuat kontra skema untuk melawan sistem yang dibangun ini.
“Seperti yang dilakukan oleh Bung Karno maupun para founding fathers lainnya, yang menyadari adanya penjajahan oleh Belanda sehingga mereka dapat membuat kontra skema untuk merdeka. Kalau mereka tidak sadar, mungkin kita tidak akan merdeka,” pungkasnya.
(ameera/akt/arrahmah.com)