TANJUNGBALAI (Arrahmah.com) – Terkait kerusuhan Tanjungbalai, Sumarera Utara, menurut pengamat sosial politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Dr Ansari Yamamah, problematika sosial di provinsi itu cukup besar dan telah berlangsung sejak lama. Menurut dia, potensi kerawanan di Tanjungbalai berawal dari aspek ekonomi yang mungkin menimbulkan kecemburuan sosial yang diperparah dengan adanya indikasi ketidakadilan secara hukum di mata masyarakat.
Jika problematika itu tersulut, kemungkinan akan muncul kerusuhan sosial yang sulit diselesaikan karena telah berlangsung lama, kompleks, dan ibarat “benang kusut”.
Karena itu, kerusuhan yang terjadi di Tanjungbalai masih tergolong sebagai “riak kecil” karena ada pemicu yang muncul.
Disebabkan masalah yang melanda telah berlangsung lama tetapi terus dipendam tanpa penyelesaian yang tuntas, masyarakat tidak peduli dan menunjukkan reaksinya meski ada pejabat penting yang sedang berkunjung.
“Apalagi jika penyulutnya adalah ketersinggungan ideologi seperti yang terjadi di Tanjungbalai,” katanya, dikutip dari Antara.
Kata dia, potensi kerawanan di Tanjungbalai berawal dari aspek ekonomi yang mungkin menimbulkan kecemburuan sosial yang diperparah dengan adanya indikasi ketidakadilan secara hukum di mata masyarakat.
Mengutip kalimat Aristoteles, masalah klasik berupa kemiskinan itu merupakan awal sebuah revolusi jika tidak mampu disikapi dengan bijaksana.
Akibat tergerusnya kearifan lokal yang diperparah gerakan global individualistik, muncul fenomena pembentukan masyarakat yang seolah-olah tidak peduli dengan nilai kemanusiaan lagi.
Uniknya, meski muncul fenomena tidak lagi merasa bersaudara dengan yang lain, tetapi masyarakat mau bersatu untuk melakukan sesuatu yang dianggap sebagai pelampiasan, termasuk berupa kerusuhan.
Mengatasi masalah itu memang tidak mudah karena membutuhkan proses panjang dan kesabaran “tingkat tinggi” karena penyebabnya telah berlangsung sejak lama.
Aparatur pemerintah, mulai dari pemerintah daerah, Polri, TNI, kejaksaan, hingga tokoh agama dan tokoh masyarakat harus mampu memberikan pencerahan dengan penuh kesabaran.
Aparatur pemerintah juga harus merespon berbagai keluhan masyarakat dengan memberikan tindakan yang tegas dan adil, bukan hanya sesuai ketentuan yang berlaku, tetapi juga norma dan kearifan lokal.
Jika tidak mampu menyahuti segala keluhan masyarakat tentang problematika sosial, apalagi justru berpihak dan tidak membuat keputusan yang adil, masalah yang ada justru akan menjadi “bom waktu” yang siap meledak jika ada yang menyulut.
Banyak pihak yang sebenarnya merusak tatanan yang sudah ada dengan alasan demokrasi, tetapi justru akan kontraproduktif bagi kondusifitas kemasyarakatan.
Dia mencontohkan pengaturan pembangunan rumah ibadah yang telah berlangsung lama, bahkan sejak masa orde baru yang cukup bangus.
Pengaturan agar rumah ibadah hanya boleh dibangun di lingkungan yang penganut agamanya banyak sangat perlu dipertahankan untuk menjaga kenyamanan dan ketenangan masyarakat.
“Kalau tidak ada pengaturan, bisa saja terjadi ekspansi politik keberagamaan,” ujar alumni Leiden University Belanda itu.
(azm/arrahmah.com)