TRIPOLI (Arrahmah.com) – Ratusan orang telah tewas di Libya sejak aksi protes pecah di seluruh negara di Afrika Utara tersebut sejak enam hari lalu, menurut pengawas hak asasi kemanusiaan dan saksi mata di seluruh negeri.
Penduduk mengatakan bahwa sedikitnya 200 orang telah tewas di kota Benghazi saja, sedangkan kelompok ham berbasis di New York mengatakan pada Minggu (20/2/2011) jumlah korban tewas di seluruh negeri mencapai 104, seperti yang dilansir Al Jazeera.
Protes juga dilaporkan pecah di kota lain, termasuk Bayda, Derna, Tobruk dan Misrata.
Di ibukota, Tripoli, pendukung pemerintah turun ke jalan dalam jumlah besar dan aparat keamanan menentang demonstrasi besar melawan rezim Gaddafi yang berkuasa selama 42 tahun.
“zona perang” Benghazi
Moftah, seorang penduduk Benghazi-kota kedua terbesar Libya-mengatakan kota itu telah menjadi “zona perang” dalam beberapa hari terakhir.
Penduduk telah membarikade jalan dengan kaleng sampah dan puing-puing dan pasukan keamanan telah membatasi dri, meskipun penembak jitu terus menargetkan pengunjuk rasa, katanya.
Pasukan yang tetap adalah “preman” yang loyal kepada Gaddafi, ujar Moftah dan mereka menembakkan amunisi kaliber tinggi ke pengunjuk rasa.
Mariam, seorang dokter berbicara dari sebuah rumah sakit di Benghazi, mengatakan militer telah menembak demonstran dengan peluru tajam dan bahkan rumah sakit menjadi tidak aman. Seorang anak berumur delapan tahun ditembak mati di kepala, ujarnya.
Pasukan keamanan brutal dilaporkan melepaskan tembakan di sebuah pemakaman di kota pantai timur pada Sabtu (19/2), menewaskan sedikitnya 15 orang dan melukai puluhan lainnya.
Pemakaman saat itu dilakukan untuk menghormati pengunjuk rasa yang tewas oleh pasukan pemerintah selama protes berlangsung, yang dimulai sejak Senin pekan lalu setelah penangkapan seorang pengacara terkemuka dan terus meneriakkan kejatuhan Gaddafi.
Dokter lain dari rumah sakit di Benghazi, al-Jalah, mengatakan staf di sana telah menerima 15 mayat dan merawat puluhan orang setelah penembakan di pemakaman. Rumah sakit menghitung sebanyak 44 orang tewas dalam tiga hari dan masih berjuang mengobati korban luka.
“Ini bukan rumah sakit yang lengkap dan korban terus datang bergelombang,” ujarnya. “Semua mengalami cedera serius, melibatkan kepala, dada dan perut. Mereka adalah luka peluru dari senapan kecepatan tinggi.”
Dia mengatakan yang terluka dan tewas semuanya adalah wara sipil berusia antara 13 sampai 35 tahun dan bahwa pasukan keamanan beroperasi dengan kebijakan menembak untuk membunuh secara “mutlak”.
Dengan latar belakang kekerasan, kelompok-kelompok oposisi mengatakan sekitar 50 pemimpin Muslim Libya mendesak pasukan keamanan untuk menghentikan pembunuhan terhadap sipil.
“Ini adalah seruan mendesak dari ulama, intelektual dan tetua klan dari Tripoli, Bani Walid, Zintan, Jadu, Msalata, Misrata, Zawiah dan kota lainnya dan desa-desa di wilayah barat,” ujar banding yang ditandatangani oleh kelompok pemimpin.
“Kami menyerukan kepada setiap Muslim, dalam rezim atau membantu dalam segala cara, untuk mengakui bahwa pembunuhan umat manusia tak bersalah itu dilarang oleh Pencipta kita dan Nabi kita tercinta, damai untuknya…Janganlah Anda membunuh saudara atau saudari Anda. Hentikan pembantaian sekarang!”
Ahmed, seorang pengusaha di Benghazi mengatakan rumah sakit di kota tersebut kewalahan dengan jumlah korban tewas dan terluka dan kehabisan darah.
“Ini merupakan pembantaian besar, sangat besar. Kami tidak pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya. Sangat mengetikan,” ujarnya.
“Penembakan masih terus terjadi sampai sekarang. Kami sekitar tiga kilometer jaraknya dari itu. Dan kami melihat pasukan pagi ini mendatangi kota. Anda dapat mendengar suara tembakan sekarang. Mereka tidak peduli dengan kita.” (haninmazaya/arrahmah.com)