(Arrahmah.com) – Vaksin adalah suatu zat yang merupakan suatu bentuk produk biologi yang diketahui berasal dari virus, bakteri atau dari kombinasi antara keduanya yang dilemahkan. Vaksin diberikan kepada individu yang sehat guna merangsang munculnya antibodi atau kekebalan tubuh guna mencegah dari infeksi penyakit tertentu. Melalui vaksinasi diharapkan bisa menjadi solusi untuk segera mengakhiri pandemi yang tengah melanda negeri ini.
Jenis penelitian vaksin ini disebut sebagai uji coba tantangan yang mencakup pemberian vaksin kepada sukarelawan. Peneliti dengan sengaja memaparkan virus kepada mereka untuk melihat apakah subjek terinfeksi atau tidak.
Pendekatan itu dinilai kontroversial karena Covid-19 tidak memiliki obat dan dapat berakibat fatal. Namun, cara itu menjanjikan mempercepat penelitian. Berkaitan dengan hal itu Indonesia memutuskan menjalin kerjasama antara BUMN Biofarma dengan Produsen Vaksin Sinovac yang berasal dari Cina. Pada tahap ini untuk uji klinis calon vaksin. Melalui kerjasama ini Pemerintah Indonesia mempunyai keuntungan berupa alih teknologi dan keuntungan ekonomi dari produksi yang akan dilakukan di dalam negeri.
Pemerintah Indonesia hingga kini terus mengambangkan vaksin Covid-19 dalam negeri yang nantinya dinamai Vaksin Merah Putih. Selain mengembangkan vaksin buatan sendiri, Indonesia juga tengah bekerja sama dalam pengembangan vaksin buatan perusahaan biofarmasi asal Cina Sinovac Biotech melaui perusahaan pelat merah PT Bio Farma.
Pengembangan vaksin virus corona buatan Sinovac tersebut telah memasuki fase uji klinis tahap tiga. Bahkan, Indonesia menjadi salah satu tempat uji klinis vaksin tersebut. Nantinya uji klinis tahap tiga akan dilakukan di Bandung mulai Agustus mendatang selama enam bulan, bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran.
Uji klinis ini akan melibatkan sebanyak 1.620 relawan yang berusia 18-59 tahun, dan berlokasi di enam titik yang telah ditentukan di Kota Bandung. Namun, sebagai negara dengan mayoritas penduduknya Muslim, muncul polemik terkait label halal vaksin corona buatan Negeri Tirai Bambu.
Pemerintah menonjolkan aspek keuntungan yg didapat oleh Indonesia berupa alih teknologi dan keuntungan ekonomi dari produksi yang akan dilakukan di dalam negeri. Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir mengatakan kerja sama vaksin Covid-19 antara PT Bio Farma (Persero) dan Sinovac Biotech Ltd tak sekadar transaksi jual-beli. Menurut dia, kesepakatan ini juga meliputi transfer teknologi dan ilmu pengetahuan.
Erick pun mengibaratkan Bio Farma bukan tukang jahit. “Bio Farma kerja sama dengan Sinovac adalah kerja sama yang win-win. Artinya menang-menang. Bio Farma bukan tukang jahit. Ada transfer knowledge, transfer teknologi,” tutur Erick dalam konferensi virtual pada Kamis petang, 20 Agustus 2020.
Dalam mengembangkan vaksin ini, nantinya, bahan aktif diberikan ke Bio Farma, selanjutnya baru akan diracik dan diformulasikan di Indonesia.
Keuntungan lainnya, kata Bambang, uji coba ini bakal memberi informasi terkait respons vaksin pada penduduk Indonesia. Dengan demikian, kecocokan vaksin bakal dapat diketahui ketimbang membeli vaksin dari luar yang belum diuji di Indonesia.
Adapun uji coba tersebut juga bukan dilakukan dari tahap awal, melainkan uji coba fase III. Artinya, kandidat vaksin yang diuji sudah melalui serangkaian penelitian mengenai keamanan dan efek samping dari pre-klinis, fase I, hingga fase II.
Namun Rencana uji klinis fase III vaksin virus corona di Indonesia mengundang berbagai respons warganet di media sosial Twitter. Tak hanya warganet, sejumlah tokoh politik juga menyebut uji klinis vaksin yang diperoleh dari perusahaan Cina, Sinovac, ini adalah cara untuk menjadikan penduduk Indonesia kelinci percobaan dalam penelitian pengembangan vaksin. “Hanya satu2nya di dunia, ada pemerintah yang bahagia merelakan rakyat negerinya menjadi kelinci percobaan vaksin dari China. Sementara China sendiri tak mau mengujicobakan pada rakyatnya sendiri,” demikian tulis salah satu pengguna Twitter. Pengguna Twitter lainnya juga menuliskan hal yang hampir sama, “Jangan mau di vaksin itu semua uji coba…. emang kita mau jadi kelinci percobaan…. ayoo kita lawan jgn mau jadi kelinci percobaan”.
Menanggapi keramaian soal ini, PT Bio Farma selaku BUMN Indonesia yang menjalin kerja sama dengan Sinovac, meluruskan dan menepis anggapan tersebut. Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma Bambang Heriyanto mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diluruskan terkait uji klinis fase III yang dijadwalkan dimulai Agustus ini. “Pertama, bahwa vaksin Sinovac ini memang masih dalam tahap pengembangan, riset. Ini (uji klinis) bagian dari riset. Semua vaksin maupun obat baru, itu harus diuji dulu,” kata Bambang saat dihubungi Kompas.com, Senin (27/7/2020). Ia menjelaskan, sesuai standar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahap pertama pengujian vaksin dilakukan pada hewan atau disebut tahap praklinis. “adi sebelum dicoba ke manusia, sudah dicoba dulu pada hewan. Lalu dilihat tingkat keamanannya juga khasiatnya. Kalau memenuhi syarat baru masuk ke fase I,” kata Bambang. Indonesia juga bukan satu-satunya negara yang bekerja sama dalam uji coba fase III kandidat vaksin Sinovac. Beberapa negara seperti Turki, Brazil, Bangladesh, dan Cile juga melakukan uji coba yang sama.
Jika fase ketiga lulus, proses berikutnya adalah tahap perizinan regulator masing-masing negara. Di Indonesia, menurut Bambang, masih harus melalui persetujuan dari Komite Etik juga beragam prosedur dari Badan POM RI sebelum vaksin ini beredar di pasaran.
Selain itu, keuntungan yang didapat indonesia ketika menjalin kerjasama dengan Sinovac adalah membuka lapangan kerja dengan penerapan sumber daya manusia dalam negeri dan efek berantai dari naiknya tingkat serapan komponen dalam negeri (TKDN), terutama di sektor kesehatan.
Namun, dalam hal ini amat disayangkan jika hanya aspek keuntungan saja yang ditonjolkan pemerintah kita. Fakta kerjasama yang dilakukan BUMN dengan produsen vaksin sudah sepatutnya mendapat perhatian. Jangan sampai menjadi kerjasama swasta saja yang dikhawatirkan akan memonopoli kepentingan umum demi keuntungan segelintir pihak.
Melalui pengamatan pada realitas yang terpapar di depan mata, bukti kapitalis liberal itu nyata. Hal itu tidak terlepas pada posisi Indonesia, yang hanya mampu menjadi bangsa pengekor Kapitalisme. Alhasil, Indonesia hampir tidak memiliki identitas sebagai bangsa berdaulat. Dalam penangan wabah pandemi misalnya, untuk pembuatan vaksinpun Indonesia masih bekerjasama dengan asing, belum mampu membuat vaksin itu secara mandiri.
Ideoligi kapitalisme yang berorientasi ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi bebas dikendalikan oleh pemilik swasta. Akan memberi ruang yang besar untuk pihak swasta melakukakan monopoli, serta pemilik modalah yang akan meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dengan prinsip tersebut, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna memperoleh keuntungan bersama, tetapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Inilah yang kita khawatirkan pun dalam program pembuatan vaksin serta vaksinasi yang nanti akan dilaksanakan.
Kegemilangan Islam dalam Menciptakan Vaksin Tanpa Memperhitungkan Untung-Rugi
Sungguh berbeda dengan Islam. Islam mewajibkan negara tidak menjadikan faktor keuntungan sebagai pertimbangan utama pengambilan kebijakan. Negara harus berorientasi maslahat umum yakni mendapatkan obat yang tepat dengan memfokuskan pada aspek kelayakan dan keamanan, bukan aspek keuntungan. Ditegaskan Rasulullah Saw, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Alhasil, pemerintahan dalam sistem Islam akan selalu mengutamakan kepentingan umum. Apalagi berkaitan dengan nyawa rakyatnya. Dalam hal pengadaan vaksin pemerintah akan memfasilitasi dan mendorong para ilmuwan untuk melakukan penelitian dan pengembangan. Adapun sumber biaya yang digunakan bisa berasal dari dana wakaf yang berkontribusi hampir 30% dari pemasukan Baitul Mal. Besarnya dana ini membuat layanan dan penelitian kesehatan menjadi maju karena tidak ada beban untuk mengembalikan ‘keuntungan’.
Peradaban Islam juga akan menjadikan ilmu pengetahuan tentang virus ini, makhluk Allah yang tidak kasat mata, sebagai ladang pahala. Vaksin akan dikembangkan dengan prosedur yang seefektif mungkin mengingat dana pembiayaan berasal dari amanah wakaf untuk kepentingan sebesar-besarnya umat manusia.
Lalu, apakah vaksin sinovac yang berasal dari Cina ini mampu untuk mengobati Covid-19 secara ampuh? Setelah sebelumnya pernah hadir obat kaletra HIV dan obat influenza Arbidol yang dianggap bisa menyembuhkan pasien positif virus corona Covid-19 dengan gejala ringan sedang. Kaletra awalnya direkomendasikan oleh pemerintah Cina pada Januari 2020 untuk memerangi virus corona Covid-19. Obat ini menghentikan replikasi yang dilakukan virus HIV dan efektivitas yang sama juga bisa terjadi pada virus corona. Tapi ketika Dua obat ini diujicobakan kepada 84 pasien, di mana 34 pasien menggunakan Kaletra (lopinavir/ritonavir), 35 pasien menggunakan Arbidol (umifenovir) dan 17 pasien hanya mendapatkan perawatan pendukung dan oksigen jika dibutuhkan. Dari hasil ujicoba tersebut ditemukan tidak ada perubahan yang signifikan terhadap penyakit yang diderita pasien. Bahkan beberapa pasien yang menggunakan Kaletra menderita efek samping berupa gastrointestinal (pendarahan saluran cerna) yang lebih buruk, seperti dilansir dari Forbes, Rabu (22/4/2020).
Kita belum tau apakah vaksin ini benar-benar ampuh dalam mengobati virus Covid-19 atau mungkin saja akan sama seperti obat-obat sebelumnya yang ternyata mengalami kegagalan. Maka semestinya saat ini yang patut kita lakukan adalah lebih waspada dan ekstra hati-hati.
Aisyah
*Referensi:
https://www.msn.com/id-id/news/other/vaksin-corona-sinovac-diharapkan-halal-mui-akan-kawal-uji-klinis/ar-BB17fJG5
https://www.ayojakarta.com/read/2020/07/20/21568/vaksin-covid-19-produksi-tiongkok-tiba-di-indonesia
https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/27/133700965/benarkah-indonesia-jadi-kelinci-percobaan-vaksin-china-ini-tanggapan-bio?page=all
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200422103030-37-153571/maaf-obat-hiv-dan-flu-ini-gagal-buat-sembuhkan-corona