JAKARTA (Arrahmah.com) – Proyek kereta api cepat (high speed train-HST) Jakarta-Bandung dinilai lebih banyak didasari kepentingan bisnis ketimbang untuk transportasi massal. Sebab, proyek yang penuh kritikan ini dinilai terlalu mahal bagi Indonesia.
“Saya mendapat bisikan dari orang dekat kekuasaan. Dia bilang yang menang ternyata para taipan-taipan juga dalam proyek ini,” kata anggota DPD RI AM Fatwa dalam diskusi “Menjawab Hak Bertanya DPD RI Tentang Urgensi Perpres KA Cepat Jakarta-Bandung, di Jakarta, Rabu (4/11/2015), lansir Poskotanews.
Dia tak mau membeberkan siapa nama-nama taipan dan konglomerat yang terkait dengan KA Cepat tersebut. “Tidak etislah menyebut nama, karena kita punya etika politik. Meski begitu, soal sinyalemen ini tetap harus diungkap ke publik,” tambahnya.
Fatwa mengakui, bahwa informasi mengenai adanya keterlibatan para taipan itu diperoleh dari partai pendukung pemerintah sendiri.
“Saya mengkhawatirkan proyek KA Cepat ini untuk menghidupkan kembali poros Jakarta-Peking, sebagaimana zaman dulu. Apalagi kepentingan bisnis itu sangat terkait dengan aspek politik,” paparnya.
Mantan Wakil Ketua DPR itu menambahkan terlepas dari setuju atau tidak, dia tetap mempertanyakan urgensi Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tertanggal 6 Oktober 2015 tentang kereta cepat Jakarta-Bandung berjarak 150KM.
Gunakan Hak Bertanya DPD RI
Bersama rekannya sesama senator dari DKI Ayi Hambali, pihaknya telah mengumpulkan sebanyak 76 tanda tangan anggota DPD RI yang menggunakan hak bertanya perihal urgensi dan relevansi pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Hak bertanya tertanggal 27 Oktober 2015 diterima oleh pimpinan DPD dalam sudang Paripuna tersebut. Selanjutnya, pimpinan DPD RI menyampaikan surat itu kepada pemerintah agar bisa ditindak lanjuti.
“Jakarta – Bandung memiliki jalur sarana dan prasarana transportasi yang lengkap, bisa kereta api, pesawat, serta jalan tol dan jalan raya. Biaya pembangunan kereta api itu membebani APBN,” ujarnya.
Pemerintah, kata dia, begitu terburu-buru mengeluarkan Perpres kereta api cepat. Padahal, semasa kampanye Presiden lebih berambisi mewujudkan tol laut atau poros maritim. Sekarang Presiden justru belum mengeluarkan peraturan atau keputusan sebagai landasan hukum untuk merealisasikannya.
“Pertanyaannya pembangunan ini untuk siapa? Siapa orang di belakang pembangunan kereta api cepat itu?, ” ujar Fatwa yang juga dikenal politisi dari F-PAN itu.
Polemik kereta api cepat dimulai saat gagasan yang sudah lama tenggelam ini kembali mucul setelah investor Jepang dan investor Cina mengajukan proposal proyek kepada Presiden Joko Widodo. Awalnya presiden sempat menolak proposal proyek itu karena biayanya membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), tapi akhirnya proyek tersebut mendapat persetujuan juga. (azm/arrahmah.com)