Oleh: Nofriyanto al-Minangkabawy*
(Arrahmah.com) – Selain berbeda keyakinan dalam memandang Al Qur’an, Syiah juga berbeda dengan Ahlus sunnah dalam memandang hadits. Menurut Syiah, hadits ialah perkataan, perbuatan maupun pengakuan (taqrir) dan sifat Nabi Shallalahu alaihi wa sallam melalui jalur periwayatan Imam dua belas saja. Selain itu Syiah juga mendefinisikan hadits dengan perkataan, perbuatan maupun pengakuan (taqrir) Imam al-ma’shum Artinya, jalur periwayatan selain dari para Imam tersebut tidak mereka akui meskipun bersambung kepada Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh salah satu tokoh Syiah Abdul Hadi dalam bukunya Ushul Hadits wa Ahkamuha. Perbedaan keyakinan tersebut tak terlepas dari kebencian terhadap para sahabat yang mereka tuduh telah merampas hak kepemimpinan Ahlu Bait.
Jika diteliti lebih lanjut terdapat beberapa kerancuan dalam konsep hadits Syiah. Salah satunya ketidakjelasan perawi hadits. Hal ini sebagaimana diakui oleh salah seorang tokoh Syiah al-Faid al-Khasani yang dikutip oleh Ali al-Qafari dalam bukunya Ushul Madzhab Syiah. Hal tersebut dapat dimaklumi karena sejak awal Syiah tidak pernah memperhatikan masalah periwayatan. Mereka baru serius membahas masalah ini pada abad kelima Hijriyah, yaitu ketika al-Kishi menulis kitab Ikhtiyar Ma’rifati Rijal yang lebih dikenal dengan Rijal al-Kishi. Ironisnya, kitab tersebut sangat ringkas dan memuat keterangan yang konradiktif tentang status validitas perawi. Selain itu juga sangat banyak ditemukan kesalahan akibat kemiripan nama dan julukan.
Selain problem ketidak jelasan perawi, Syiah juga mengalami kesulitan dalam menentukan status perawi hadits dengan standar ilmu jarh wa ta’dil, sebagaimana yang diterapkan oleh Ahlus sunnah. Syiah baru menggunakan metode ilmu jarh wa ta’dil untuk pertama kalinya pada abad ke-7 Hijriyah. Hal ini pun tak terlepas dari banyaknya kritikan dari ulama Ahlus sunnah atas Syiah berkenaan dengan kelemahan mereka yang tidak punya metode dalam mengklasifikasi hadits. Melihat kepada metode ilmu jarh wa ta’dil yang baru diterapkan Syiah pada abad ke-7, maka dapat dikatakan mereka merasa nyaman selama enam abad lebih sejak kemunculannya dengan tidak adanya klasifikasi hadits. Jadi selama itu bagi mereka, tidak perlu adanya penelitian hadits dan setiap hadits yang ada dapat diterima tanpa perlu susah-susah meneliti.
Selain itu, pembagian derajat hadits dalam Syiah seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mutahhir diakui oleh ulama Syiah lainnya bahwa ia sepenuhnya tidak lain merupakan plagiat dari konsep yang telah ada dalam metodologi hadits Ahlus sunnah. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Amili dalam bukunya Wasail as Syiah melalui ungkapannya, ‘ Dan mustalah baru itu sesuai dan sama dengan i’tiqad dan mustalah orang ‘awam (sunni). Bahkan setelah diteliti, memang sepenuhnya diambil dari kitab-kitab mereka.
Walhasil, ternyata konsep hadits Syiah memiliki banyak kerancuan. Selain adanya ketidakjelasan perawi hadits dan statusnya ia juga merupakan usaha plagiat Syiah terhadap karya Ahlus sunnah.
*Penulis Bina Qalam Indonesia
(*/arrahmah.com)