Oleh : Budi Nurastowo Bintriman
(Kader Muhammadiyah, Alumni Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah Shabran, UMS angkatan 86)
(Arrahmah.com) – Tulisan saya yang pertama dengan judul “Kerancuan Dakwah Emha Ainun Najib dan Kyai Kanjeng” mendapat respon beragam dari khalayak luas. Ada yang pro, dan (tentu) ada yang kontra. Ada yang mengutip tulisan itu, untuk kemudian di-share-kan. Ada yang menyarankan atau merekomendasikan kepada khalayak dunia maya, untuk membacanya. Dan ada pula yang langsung menanggapi lewat inbox, SMS, ataupun telepon.Atas semua respon itu, saya ucapkan terimakasih dengan penghargaan dan penghormatan.
Oleh karena itu, saya merasa perlu untuk melanjutkan tulisan itu, agar khalayak mendapatkan tulisan atau pesan yang utuh dari saya. Kali ini, tulisan saya berjudul “Kerancuan Dakwah Emha Ainun Najib Dalam Perspektif Teologis”. Pada tulisan pertama, dalam menanggapi dakwah Emha, saya lebih menekankan pada aspek argumentasi belaka. Maka pada tulisan yang kedua ini, saya lebih menekankan pada pendekatan teologis.
Pertama, secara keseluruhan, kerancuan dakwah Emha tidak sejalan dan bertentangan dengan konsep al-wala’ wal-bara’. Emha dan Kyai Kanjengnya “berdekat-dekatan mesra” (ber-wala’) dengan BANSER, NU, dan umat Islam lainnya, itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah, ketika Emha dan Kyai Kanjengnya “berdekat-dekatanmesra” (ber-wala’) dengan fihak-fihak kafir, di mana ia seharusnya menumbuhkan sikap berlepas diri, al-bara’, apalagi untuk urusan syi’ar, tabligh, dan dakwah.
Bahkan pada bagian-bagian tertentu, kerancuan dakwah Emha malah mengembangkan sikap “buka-buka front” (ber-bara’) dengan kelompok-kelompok Muslim tertentu. Padahal yang seharusnya, Emha menumbuhkan sikap al-wala’. Inilah yang kemudian menjadi masalah besar, karena secara kebetulan, konsep al-wala’ wal-bara’ adalah bagian dari pembahasan di bidang tauhid. Bisa-bisa, Emha dan Kyai Kanjengnya nanti akan terkena petuah dari pepatah Jawa : mburu uceng kelangan deleg (mencari yang remeh kehilangan yang berharga).
Kedua, sebagai konsekuensi dari kerancuan dakwah Emha yang tidak sejalan dan bertentangan dengan konsep al-wala’ wal-bara’ itu, maka Emha dan Kyai Kanjengnya terancam akan diserupakan dengan orang-orang kafir itu. Ini berdasarkan al-Qur’an surat al-Maidah ayat 51 :
“Wahai kaum mukmin janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin kalian. Mereka itu menjadi pemimpin sesama mereka. Siapa saja diantara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, dia termasuk golongan kafir.”
Sementara kita ketahui bersama, bahwa orang-orang kafir itu tidak memperoleh rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali.
Ketiga, sebagai konsekuensi dari kerancuan dakwah Emha yang tidak sejalan dan bertentangan dengan konsep al-wala’ wal-bara’ itu, maka Emha dan Kyai Kanjengnya terancam akan dihina-dinakan di hadapan musuh-musuh Allah Ta’ala (orang-orang kafir yang gencar mendakwahkan agamanya kepada kaum muslimin). Setidaknya telah tampak nyata, bahwa Romo-Romo dari gereja Ganjuran itu sudah tidak segan-segan dan sudah tidak sungkan-sungkan lagi bercampu-baur dengan simbol-simbol Islam yang ada pada penutupan MTQ malam itu.
Ancaman penghinadinaan (dari Allah Ta’ala) ini berdasarkan al-Qur’an surat al-Maidah ayat: 56 :
“Siapa saja yang menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin sebagai penolongnya, ia termasuk pembela agama Allah. Sungguh orang-orang yang membela agama Allah pasti akan menang.”
Maka mafhum mukhalafah dari ayat tersebut adalah: Barangsiapa ber-wala‘ kepada orang-orang kafir, maka sesungguhnya ia adalah pengikut setan (hizbusysyaithan), dan mereka akan dihina-dinakan di hadapan musuh-musuh Allah Ta’ala.
Keempat, sebagai konsekuensi dari kerancuan dakwah Emha yang tidak sejalan dan bertentangan dengan konsep al-wala’ wal-bara’itu, maka Emha dan Kyai Kanjengnya terancam akan disesatkan ke neraka. Ini berdasarkan al-Qur’an surat al-Maidah ayat 51 :
” … Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim“.
Orang-orang yang dhalim dalam ayat itu merujuknya kepada kalimat sebelumnya, yaitu orang-orang yang ber-wala‘ kepada kafir.
Kelima, sebagai konsekuensi dari kerancuan dakwah Emha yang tidak sejalan dan bertentangan dengan konsep al-wala’ wal-bara’ itu, maka Emha dan Kyai Kanjengnya terancam akan kena laknat dari Allah Ta’ala, sebagaimana kaum Nabi Daud dan kaum Nabi Isa. Mereka adalah kaum yang durhaka dan melampaui batas oleh karena permisif terhadap kemungkaran, dan oleh karena kegemarannya tolong-menolong (al-wala’) dengan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik.
Ini berdasarkan al-Qur’an surat al-Maidah ayat 79 – 80 :
“Orang-orang kafir Bani Israil telah dilaknat oleh Allah melalui lisan Daud dan Isa bin Maryam. Mereka dilaknat karena durhaka dan melanggar syariat Taurat dan Injil. Orang-orang kafir Bani Israil tidak mau berhenti dari kebiasaan menentang syariat Allah. Amat buruk kebiasaan yang telah mereka lakukan itu. Wahai Muhammad kamu akan melihat, sebagian besar kaum Yahudi dan Nasrani menjadikan orang-orang kafir sebagai panutan mereka.“
Keenam, empat ancaman (dari Allah Ta’ala) tersebut diatas, semuanya berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an. Sementara dalil hadits saya dapatkan dari Abdullah Ibnu Abbas. Sebagai konsekuensi dari kerancuan dakwah Emha yang tidak sejalan dan bertentangan dengan konsep al-wala’ wal-bara’itu, maka Emha dan Kyai Kanjengnya terancam akan memperoleh kesia-siaan belaka.
Kesia-siaan yang dimaksud di sini, sejalan dengan ancaman-ancaman sebagaimana yang tercantum dalam beberapa ayat al-Qur’an tersebut di atas, adalah kesia-siaan di dunia dan kesia-siaan di akhirat.
Di dunia, model dakwah pluralisme yang demikian itu, tidak akan memberi kontribusi apapun. Alih-alih memberi kontribusi, tetapi malah akan meresahkan umat Islam lainnya. Di akhirat, para pelaku dakwah model yang demikian itu, terancam tidak akan merasakan lezatnya jannah. Ini berdasarkan hadits dari Abdullah IbnuAbbas :
” … Dan telah menjadi umum, bahwa persaudaraan manusia yang berdasarkan pada kepentingan-kepentingan duniawi (ber-wala’ kepada kaum kafir), tidaklah bermanfaat sedikitpun bagi para pelakunya.” (HR. Thabrani dalam al-Kabir).
Sebagai sesama Muslim, tentunya saya tidak menginginkan Emha dan Kyai Kanjengnya terkena ancaman-ancaman sebagaimana tersebut di atas. Maka saya berharap, Emha dan Kyai Kanjengnya mulai merubah model dakwahnya. Mulailah menghentikan sikap al-wala’-nya kepada orang-orang kafir yang jelas-jelas gencar menyeru agamanya kepada kaum Muslimin. Mulailah menghentikan sikap kegemarannya “membuka front baru” kepada kelompok Muslim lain. Mualilah menumbuhkan sikap al-bara’ kepada orang-orang kafir. Dengan dakwah model baru ini, insya Allah akan mendapat dukungan dari semua komponen umat.
Wallahua’lam bishshawwab.
(arrahmah.com)