(Arrahmah.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan atas ps 61 UU No. 23/2006 dan ps 64 UU No. 24/2013 tentang administrasi kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di KTP.
Berdasarkan keputusan tersebut, yang dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat, Selasa 7/11/2017, maka para penganut aliran kepercayaan dapat mencantumkan kepercayaan mereka di kolom agama saat membuat KTP.
Mengapa aliran kepercayaan dicantumkan pada kolom agama? Apakah aliran kepercayaan termasuk agama? Jika aliran kepercayaan dikategorikan sebagai agama, lalu apa yang menjadi obyek kepercayaan mereka? Apakah obyek kepercayaannya menyangkut Tuhan atau klenik? Lalu siapakah Tuhan para penganut aliran kepercayaan itu?
Jika penganut aliran kepercayaan percaya adanya Tuhan. Menurut aliran kepercayaan, apakah eksistensi Tuhan menurut persepsi manusia ataukah manusia yang diatur oleh Tuhan? Menurut paham komunis, adanya Tuhan sesuai pikiran manusia. Jika manusia berpikir Tuhan ada maka ada. Jika berpikir tidak ada maka Tuhan tidak ada.
Apabila cara pandang ini yang dipakai, jelas cara pandang PKI, yang bertentangan dengan sila Ketuhan YME dalam Pancasila.
Menurut Hakim anggota Saldi Isra, hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan YME merupakan hak konstitusional warga negara, sejalan dengan jiwa UUD 45 ps 29 ayat 1. “Bahwa tiap-tiap warga negara merdeka untuk memeluk agama dan kepercayaan dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.”
Pertanyaannya, jika aliran kepercayaan bukan agama, mengapa MK memutuskan kolom agama boleh diisi aliran kepercayaan? Jika konsekuen dengan UUD ’45 seharusnya dibuat kolom kepercayaan, isinya Sapta Darma, Baha’i, Klenik dll. Apakah MK sengaja mengacaukan posisi agama dengan yang bukan agama. Mengaburkan makna tauhid dan kemusyrikan?
Putusan MK ini benar-benar menyesatkan. Dampak putusan ini sangat berbahaya, karena dapat menimbulkan dekadensi moral yang parah. Misalnya, aliran kepercayaan tidak punya aturan terkait perzinahan. Selama ini mungkin ada diantara penganut aliran kepercayaan yang menikah mengikuti ajaran salah satu agama. Setelah keputusan MK mereka tidak perlu terikat dengan ajaran agama melainkan berpegang pada ajaran kepercayaannya. Bagaimana cara pernikahan menurut aliran kepercayaan, atau merasa cukup dengan kumpul kebo, hidup semenleven, yang menurut agama adalah zina.
Pada 1973 saat membahas UU perkawinan, status aliran kepercayaan ikut dibahas di DPR. Para wakil parpol Islam menolak perkawinan versi aliran kepercayaan. Namun th 1975 Mendagri mengeluarkan izin, membolehkan kawin cara aliran kepercayaan di kantor catatan sipil. Ketika perzinahan kian merajalela, pada Tahun 1984, saat penguasa orba menerapkan asas tunggal, keberadaan aliran kepercayaan semakin menonjol. Namun sekalipun Presiden Soehato penganut kebatinan, dia tidak menyetarakan agama dengan aliran kepercayaan; dan cukup menempatkannya di bawah Kementerian pendidikan dan kebudyaan.
Tapi sekarang, dimasa rezim Jokowi, posisi agama dikerdilkan dengan menyetarakannyadengan aliran kepercayaan. Indikasinya jelas, aliran kepercayaan diletakkan di bawah Kementerian Agama. Dan boleh mengisi kolom agama di KTP dengan aliran klenik ini.
Adakah misi deislamisasi, pendangkalan aqidah Islam, yang melatarbelakangi putusan Mahkamah Konstitusi pimpinan Prof. Dr. Arief Hidayat ini?
Menyetarakan agama dengan aliran kepercayaan bertentangan dengan konstitusi. Karena, menurut Bung Hatta, “beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu,” maksudnya kepercayaan menurut ajaran agama, bukan aliran kepercayaan.
Oleh karena itu, putusan MK ini harus dihapus, karena telah menghina Islam, agama mayoritas penduduk negeri ini.
Jogjakarta, 10/11/2017
Irfan S. Awwas
(*/arrahmah.com)