JAKARTA (Arrahmah.com) – Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menyatakan ada kepentingan bisnis haram di balik pencabutan peraturan daerah (Perda) larangan minuman keras (miras) oleh Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Kemendagri pastilah di bawah tekanan pebisnis miras sehingga tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada gledek, perda larangan miras dicabut,” tudingnya, Selasa (10/1) sore di Bogor, Jawa Barat. Seperti dilansir oleh HTI Press.
Alasan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, yakni Keputusan Presiden (Keppres) No 3 Tahun 1997 tentang pengaturan peredaran miras tidak dapat diterima Ismail.
Pasalnya, Keppres yang menjadi rujukan Kemendagri tersebut dibuat oleh Presiden, saat itu, Soeharto, untuk menjaga kepentingan bisnis haram cucunya. “Keppres No 3 Tahun 1997 itu dibuat Soeharto untuk menjaga dan melegalisasi bisnis haram Ari Sigit!” ungkapnya.
Jadi kalau memang dianggap bertentangan, seharusnya pemerintah mengganti Keppresnya bukan malah mencabut Perda yang melarang miras. “Seharusnya Keppersnya yang diganti dengan Keppres yang menjunjung moral dan tidak menghalalkan miras!” tegasnya.
Menurut Ismail, hal itu harus dilakukan bila pemerintah memang konsekuen menjalankan aturan yang dibuatnya sendiri. “Berdasarkan aturan yang berlaku, Perda pelarangan miras itu sah, karena dibuat berdasarkan proses legislasi yang berlaku di negeri ini,” ungkapnya.
Memang, Mendagri memiliki kewenangan untuk mencabut Perda, tetapi berbatas waktu, maksimal 60 hari setelah Perda itu diberlakukan. “Saat ini banyak Perda larangan miras yang diberlakukan lebih dari 60 hari bahkan sudah bertahun-tahun. Di Bulukumba dan Tangerang malah sejak 2005,” jelasnya. Sejak saat itu angka kriminalitas yang dipicu dan dipacu miras merosot tajam di daerah itu.
Ismail pun menyatakan, polemik pencabutan Perda larangan miras ini merupakan bukti yang kesekian kali bahwa aturan yang dibuat manusia memang selalu tidak singkron dengan cita-cita memuliakan kehidupan manusia.
“Kan aneh, kita semua tahu bahwa miras itu dampaknya sangat buruk terhadap moralitas bangsa, miras jugalah yang memicu maraknya kriminalitas, sehingga Pemda pun mengakomodasi keinginan warganya untuk memberantas miras, tetapi pemerintah pusat bukannya memberantas miras, pabrik miras malah diizinkan berdiri, peredarannya pun dilegalkan dengan istilah ‘diatur’,” kecamnya.
Menurut Ismail, ketidaksingkronan tersebut tidak akan terjadi bila syariah Islam diterapkan secara kaaffah dalam bingkai khilafah. “Karena patokannya jelas, yakni halal atau haram, bukan kepentingan,” pungkasnya. (HTI/bilal/arrahmah.com)