Laut telah menjadi bagian dari kehidupan Ibrahim Shahada. Bertahun-tahun ia terbiasa menjadi seorang nelayan dan pergi ke laut sebelum sinar pertama dari mentari menghangatkan bumi.
Kini, penduduk Gaza berumur 50 tahun tersebut merasa kata “laut” menjadi sinonim dari sebuah rasa takut dan kematian.
“Kami kini sangat takut setiap kali kami mencoba memasuki lautan,” ujar Shahada seperti yang dilansir Islamonline.
“Kami tidak takut akan ombak yang bergulung-gulung di lautan, tetapi kami takut mendengar mesin-mesin kapal perang Israel yang siap menembakkan peluru-pelurunya ke arah kami.”
Di sepanjang pantai laut Gaza, militer zionis Israel meletakkan kapal-kapal perangnya dan mengancam keselamatan nelayan Gaza yang berani memasuki wilayah perairan.
“Secepat apapun kami memasuki laut, kami akan langsung berhadapan dengan tembakan-tembakan yang berderik-derik dari kapal-kapal perang mereka,” lanjutnya.
“Banyak dari kami memilih untuk kembali ke pantai.”
Abu-Lou’ai Shehata, seorang nelayan Palestina lainnya mengatakan lepas dari pengamatan kapal perang Israel merupakan sebuah keajaiban.
“Aku pernah mengalami keajaiban tersebut, aku berhasil selamat ke tepian setelah tentara Israel menembaki sisi-sisi perahuku.”
“Menembaki nelayan merupakan rutinitas harian yang dilakukan tentara Israel dan hal itu menekan diriku untuk mengakhiri pekerjaanku,” sambungnya.
Beberapa minggu lalu, seorang nelayan Palestina mengalami luka-luka ketika kapal perang Israel melepaskan tembakan ke arah nelayan yang berkumpul di pantai di dekat Beit Lahiya.
Selama setahun terakhir, tentara zionis Israel telah membunuh 8 nelayan Palestina
Perjuangan
Tidak hanya tembakan-tembakan Israel yang menjadikan kehidupan para nelayan menjadi sebuah mimpi buruk. Tak jarang, tentara zionis tersebut mengepung mereka dan berakhir dengan penyerahan penangkapan ikan.
“Sekalipun kami telah mengatur untuk terbebas dari serangan Israel, kami hanya mampu mendapatkan sedikit ikan dan itu tidak mampu menutupi ongkos bahan bakar yang telah kami gunakan,” ujar Yasser Ramadan, nelayan lainnya.
“Kami sangat beruntung jika dapat membawa pulang uang untuk membeli kebutuhan pangan keluarga.”
Blokade yang dilakukan Israel sejak 2007 menyebabkan kekurangan persediaan gas dan bahan bakar untuk kebutuhan rakyat Gaza.
Tanpa putus asa, nelayan Gaza menggunakan minyak goreng untuk menjalankan mesin-mesin perahu mereka.
Keadaan diperparah sejak serangan biadab Israel selama 3 pekan di wilayah Gaza. Banyak dari perahu-perahu nelayan yang rusak dan tidak dapat digunakan lagi.
“Perahuku rusak oleh tembakan Israel. Dan aku tidak bisa mengusahakan untuk diperbaiki bagaimanapun caranya,” ujar Shehata.
Jika mengikuti persetujuan Oslo, nelayan Palestina seharusnya memiliki hak untuk berlayar sampai 20 mil dari pantai Gaza.
Setelah serangan ofensif terakhir, Israel mempersempit gerak nelayan menjadi hanya 3 mil.
“Aku pelaut yang tidak dapat berlayar. Aku pelaut yang tidak dapat mencicipi ikan dalam waktu berbulan-bulan,” lanjut Shehata.
“Kami dulu terbiasa mendapatkan 60-70 kg ikan per hari. Kini dengan bersusah payah, kam hanya mendapatkan 5 kg ikan per hari,” ungkap Shahada. (Hanin Mazaya/arrahmah/IOL)