CIAMIS (Arrahmah.com) – Kepala Operasional BPJS Kesehatan Kab. Ciamis Ina Gandaliana, M.Si. mengatakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bertentangan dengan UUD. Pasalnya pada amanat UUD, negara diamanati sebagai pemelihara kesehatan masyarakat, sementara UU yang mengatur SJSN, menyebut kesehatan masyarakat diserahkan kepada rakyat sendiri. Sebuah tipuan dan akal bulus pemerintah.
“Sebenarnya amanat UUD memosisikan negara sebagai pemelihara masyarakatnya, tentunya termasuk di bidang kesehatan, tetapi “nafas” UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) ternyata justru menyerahkan jaminan kesehatan kepada masyarakat sendiri, dari yang awalnya menjadi kewajiban Negara,” kata Ina Gandaliana dalam acara Halqah Islam dan Peradaban (HIP) yang diadakan HTI DPD II Kab. Ciamis Ahad (23/03/2014).
Acara yang bertajuk “Pro-Kontra Porgram JKN-BPJS, Siapa Untung?” ini dihadiri oleh sekitar 200 orang yang mamenuhi Aula Disdikbud Kab. Ciamis. Hadir sebagai narasumber Ust. Ibnu Aziz Fathoni, M.Pd.I mewakili DPP HTI, Hendra S. Marcusi dari Komisi IV DPRD Ciamis dan dr. H. Andi Bastian narasumber mewakili IDI Kab. Ciamis.
Karena itu ustadz Ibnu Aziz Fathoni, M.Pd.I menyatakan bahwa penguasa saat ini juga telah melakukan kebohongan publik terhadap rakyatnya. Berdasarkan penelaahan terhadap PP no. 86/ 2013 misalnya, penetapan JKN sebagai asuransi wajib (UU No 40 tahun 2004) ini akan berdampak pada diberikannya sanksi bagi yang melanggar kewajiban ini (Pasal 9). Sementara judul besarnya adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) padahal padahal faktanya Asuransi yang jelas berbeda Jaminan Sosial dengan Asuransi Sosial.
Selain itu, program yang dijalankan BPJS Kesehatan ini jelas membebani rakyat, karena faktanya tidak gratis melainkan masyarakat didorong untuk mengikuti Asuransi Kesehatan dari BPJS yang harus membayar premi pada tiap bulannya, baik kondisinya sakit/ menggunakan layanan kesehatan dengan program JKN-BPJS maupun tidak. Bila ditanya siapa yang untung, ustadz Ibnu Aziz justru mencium ada bau kepentingan asing untuk liberalisasi kesehatan publik melalui bergulirnya program yang dinaungi Undang-undang ini. Yang paling untung tentu korporasi asing yang bermain dalam bidang layanan kesehatan sementara masyarakat didzalimi!
Pembicara lain, Ketua Komisi IV DPRD Ciamis Hendra S. Marcusi, mengkritisi lemahnya kesiapan implementasi program ini dan berkesan dipaksakan. Temuannya di masyarakat, banyak masyarakat mengeluh minimnya sosialisasi, prosedur yang berbelit juga sarana-prasarana yang fakta didaerah seperti di Ciamis banyak tidak siap bahkan tenaga medis pun tidak sedikit yang bingung pelaksanaannya.
Sementara dr. H. Andi Bastian yang mewakili IDI Kabupaten Ciamis menyatakan bahwa sebagai tenaga teknis medis, pihak dokter cenderung “terima jadi” peraturan yang ada dan karena tuntutan profesionalisme maka penanganan medis tetap harus memprioritaskan layanan bagi pasien.
Diskusi semakin hangat dengan disampaikannya pertanyaan dan tanggapan kritis dari peserta, diantaranya kalangan PNS, Kepala Desa, Tokoh Masyarakat, Mahasiswa, LSM dan tentunya juga insan kesehatan serta masyarakat umum. Masyarakat rata-rata menyampaikan keberatan bahkan penolakan terlebih ketika setelah dijelaskan pandangan Islam terhadap jaminan kesehatan sebagai hak dasar seluruh umat.
Karenanya, solusi semakin terarah ketika Ustadz Ibnu Aziz Fathani, M.Pd.I menyampaikan bahwa bila saja diatur dengan syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyyah maka sesungguhnya problema jaminan kesehatan dapat terpenuhi karena kewajiban penguasa diatur dalam Islam sebagaimana Rasulullah menyampaikan “Imam/ kepala Negara itu adalah pemelihara dan akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan-Nya,” simpulnya. (azm/htijabar/arrahmah.com)