KIEV (Arrahmah.id) — Peperangan antara Rusia vs Ukraina belum menandakan tanda-tanda akan mereda menyusul invasi Moskow yang berlangsung hampir satu bulan.
Keadaan justru makin merugikan bagi Rusia. Mereka harus kehilangan sedikitnya lima jenderal militer Rusia yang tewas dalam pertempuran. Jumlah itu tentu mencengangkan sejumlah pihak karena yang tewas merupakan para komandan divisi dalam agresi tersebut.
Analis perang pensiunan jenderal militer Amerika Serikat (AS), David Petraeus, mengatakan kepada CNN (21/3/2022) kematian hingga lima jenderal militer Rusia di Ukraina merupak hal yang amat tak lazim dalam peperangan.
Patraeus kemudian mencoba menjawab pertanyaan kenapa banyak jenderal Rusia yang terbunuh dalam pertempuran di Ukraina dan kenapa Ukraina sulit tumbang, yaitu:
1. Operasi Militer Kacau
Sejauh ini, banyak pengamat militer menganggap operasi militer Rusia di Ukraina kacau dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Tanpa komandan tingkat atas di lapangan, kata sejumlah pejabat AS, unit-unit militer Rusia di Ukraina hanya bersaing memperebutkan sumber daya tanpa tujuan jelas. Para pasukan Rusia juga disebut bertempur tanpa ada koordinasi yang jelas antar masing-masing divisi dan unitnya.
Beragam unit militer yang berpartisipasi dalam serangan Rusia ke Ukraina gagal terhubung satu sama lain. Menurut sejumlah sumber, para unit militer Rusia di Ukraina tampaknya bertindak secara independen tanpa skenario operasional.
Sebab, pasukan Rusia belum juga menduduki kota-kota besar, terutama Ibu Kota Kiev, meski telah 26 hari menggempur Ukraina. Sejumlah konvoi militer Rusia di Ukraina bahkan disebut mandek dan kehabisan logistik hingga menghambat pergerakan.
2. Koordinasi Buruk
Pasukan Rusia juga dinilai punya masalah komunikasi yang kentara. Hal itu terlihat saat tentara Rusia diketahui menggunakan telepon seluler komersil serta saluran telepon tak aman lainnya untuk saling berkoordinasi di medan perang.
Tindakan semacam itu membuat komunikasi pasukan Rusia dinilai lebih mudah dicegat. Kondisi ini dianggap menguntungkan Ukraina, karena bisa membantu mengembangkan strategi dan menyerang balik.
Semua indikasi dari sumber-sumber ini mengarah pada apa yang dikatakan para pengamat perang sebagai operasi militer yang putus asa dan kacau.
Padahal salah satu prinsip perang adalah kesatuan komando, demikian menurut pengamat militer sekaligus mantan Komandan Angkatan Darat AS di Eropa, Letnan Jenderal Mark Hertling.
“Artinya, seseorang harus bertanggung jawab secara keseluruhan untuk mengatur serangan, logistik, pasukan cadangan dan ukuran keberhasilan dan kegagalan dari berbagai unit operasi dan menyesuaikan tindakan berdasarkan hal itu,” kata Hertling kepada CNN, Senin (21/3).
Menurut Hetling, meskipun Rusia menunjuk seorang komandan lapangan dan AS gagal mengidentifikasi, ia terbukti tidak kompeten mengatur operasi tempur Negeri Beruang Merah.
Selama invasi berlangsung, pasukan Rusia juga dilaporkan banyak yang gugur. Tabloid pro-Rusia di Ukraina melaporkan hampir 10 ribu pasukan Negeri Beruang Merah gugur selama 26 hari invasi berlangsung.
Ukraina juga mengklaim telah membunuh setidaknya lima jenderal dan perwira tinggi Rusia sejauh ini. Jika terkonfirmasi ini menjadi kerugian yang sangat besar bagi Rusia.
Sebab, dalam peperangan, peristiwa jenderal terbunuh dinilai jarang terjadi. Hal ini pun semakin memperbesar pertanyaan terkait koordinasi pasukan Rusia di Ukraina.
“Intinya komando dan kendali mereka (Rusia) telah hancur,” kata Pensiunan Jenderal Angkatan Darat AS, David Petraus, Ahad (20/3).
Sementara itu, pensiunan Letnan Jenderal Ben Hodges mengatakan Rusia mengambil risiko besar jika berkeras memperluas invasi dalam kondisi pasukannya seperti itu.
Mengatur operasi di wilayah yang luas, lanjutnya, membutuhkan komunikasi yang luas dan sumber daya komando, serta kontrol intelijen.
“(Itu) tidak dimiliki Rusia. Saya tak melihat apapun yang dilakukan Angkatan Laut berkoordinasi dengan Angkatan Udara atau Angkatan Darat,” ujar Hodges.
Sumber AS yang lain juga mengatakan hal serupa. Dalam pandangan dia, Rusia mengalami kesulitan yang luar biasa terkait kontrol selama operasi di seluruh unit.
“Beberapa di antaranya mungkin karena tindakan Ukraina sendiri,” lanjut dia. Pasukan Kyiv memang berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan kota-kota di negaranya dan menghalau pasukan Moskow.
Di lapangan, pasukan Rusia kerap putus komunikasi dengan komandan senior mereka.
“Orang-orang di lapangan keluar dan mereka punya tujuan, tapi tak punya cara merespons pesan di radio (jika terjadi kesalahan),” kata sumber yang lain.
Beberapa tentara Rusia meninggalkan kendaraan lapis baja di lapangan dan pergi begitu saja.
Sejak Rusia mulai menginvasi pada 24 Februari lalu, mereka membombardir kota di Ukraina dengan rudal dan artileri. Pasukan Moskow menghancurkan rumah sakit bersalin, stasiun, sekolah dan area sipil lain.
Namun, invasi darat terhenti di tengah perlawanan sengit dari Ukraina.
3. Minim Latihan
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin, mengamati tindakan Rusia dan menyebutnya sebagai kesalahan strategis. Ia juga mengaku belum melihat bukti pekerjaan yang baik dari intelijen atau integrasi kemampuan udara dengan darat militer Rusia.
Ini memang bukan pertama kalinya Rusia melancarkan operasi militer. Moskow pernah mengerahkan pasukan ke Suriah dan Crimea pada 2014 lalu.
Namun, agresi di Ukraina merupakan pertama kalinya Rusia melancarkan invasi dengan skala penuh.
Operasi besar semacam itu tentu membutuhkan integrasi dan koordinasi dari pasukan udara dan darat.
Selama ini, Rusia dinilai hanya merotasi latihan militer tahunan di antara distrik militer regional alih-alih melakukan latihan tempur bersama, sebagaimana yang kerap dilakukan tentara AS.
“Mereka tak punya pengalaman dalam hal ini, tidak pada skala seperti (invasi) ini. Sudah beberapa dekade sejak mereka melakukan sesuatu dalam skala ini. Apa yang mereka lakukan di Suriah dan Crimea pada tahun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ini,” ujar Hodgges.
Di luar itu, beberapa pejabat menilai Presiden Vladimir Putin hanya membicarakan rencana operasi militer dalam lingkup pejabat Kremlin. Hal itu menyebabkan tak banyak komandan militer yang betul-betul memahami rencana Putin.
“Dalam penilaian kami terlihat jelas beberapa orang di pihak pertahanan (Rusia) tidak benar-benar memahami apa rencana dari pertempuran ini,” kata seorang pejabat senior Eropa pada awal Februari, hanya beberapa minggu sebelum invasi
Kurangnya organisasi militer dengan pemerintah pusat juga berimplikasi pada upaya Rusia memasok personel. Moskow diduga berupaya menambah pasukan karena korban terus meningkat.
Tanpa komandan yang kompeten, alokasi strategis dari sumber daya yang terbatas bisa menjadi tantangan besar bagi Rusia, kata Hodges.
“Itu tugas komandan pasukan gabungan: untuk mengalokasikan prioritas. Siapa yang diprioritaskan untuk bahan bakar, amunisi atau kemampuan tertentu,” kata dia. (hanoum/arrahmah.id)