GAZA (Arrahmah.id) — Setelah enam pekan perang di Gaza, setidaknya 21 dari 35 rumah sakit di Gaza, termasuk Rumah Sakit (RS) Indonesia di Beit Lahia, Gaza ikut diserang pada Senin (20/11/2023). Setidaknya 12 orang tewas dalam serangan Israel terhadap fasilitas tersebut, bahkan ketika kendaraan lapis baja semakin mendekat ke rumah sakit.
Sebelumnya, pasukan Israel juga telah menduduki al-Shifa sejak pekan lalu setelah membombardir beberapa bagian rumah sakit. Seperti rumah sakit lainnya di Gaza, al-Shifa melindungi ribuan warga sipil yang kehilangan tempat tinggal akibat pengeboman Israel, selain pasien dan petugas medis.
Namun yang menjadi pertanyaan mengapa Israel menargetkan rumah sakit Palestina? Berikut dua alasan mengapa pasukan Israel berani menyerang fasilitas kesehatan;
1. Perang Psikologis
Omar Rahman, peneliti di Dewan Urusan Global Timur Tengah yang berbasis di Doha, mengatakan alasan sebenarnya Israel menargetkan rumah sakit berbeda-beda. Ia menyebut ini adalah bentuk perang psikologis.
“Serangan terhadap rumah sakit menunjukkan kepada masyarakat bahwa tidak ada tempat yang aman bagi (warga Palestina),” kata Rahman, seperti dikutip Al Jazeera (21/11).
Tahani Mustafa, analis senior Palestina di International Crisis Group, mengatakan tindakan yang membuat warga Palestina merasa tidak aman di setiap fasilitas di Jalur Gaza adalah untuk memadamkan segala bentuk perlawanan.
“Ini adalah bagian dari pola pelecehan yang sudah berlangsung lama terhadap staf dan layanan medis, di mana Israel menunjukkan kepada warga Palestina bahwa tidak ada seorang pun dan tidak ada ruang yang aman,” kata Mustafa.
“Ini adalah upaya sistematis untuk mengintimidasi penduduk lokal dan melemahkan keinginan mereka untuk melawan,” tambahnya.
Analis tersebut menyebut sepanjang perang, Israel telah menargetkan sejumlah ambulans dan fasilitas medis di Tepi Barat dan Gaza, mengklaim bahwa pejuang Palestina menggunakannya untuk bergerak dan berlindung, tanpa memberikan bukti atas klaim tersebut.
2. Lampu Hijau dari Amerika
Israel juga menargetkan bangunan-bangunan sipil seperti rumah sakit karena mereka dapat lolos dari serangan tersebut. Hal ini dikatakan Trita Parsi, wakil presiden eksekutif di Quincy Institute for Responsible Statecraft yang berkantor pusat di Washington.
“Satu-satunya pengawasan dan batasan yang penting adalah yang datang dari Amerika Serikat,” kata Parsi. “Perhitungan Israel adalah bahwa kemarahan internasional tidak menjadi masalah selama Amerika Serikat menolak membatasi tindakan Israel.”
Dengan tidak adanya tekanan dari AS, ditambah dengan pemerintahan “paling ekstremis” dan sayap kanan yang pernah dimiliki Israel, Parsi menjelaskan “Israel mengambil kesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat mereka lakukan”.
Namun, seiring dengan berlanjutnya perang, AS mungkin terpaksa mendesak sekutunya untuk mengurangi keganasan serangannya, seiring dengan menurunnya citra AS di seluruh dunia.
“Kedudukan dan kredibilitas AS di dunia anjlok akibat lampu hijau bagi tindakan Israel semacam ini,” kata Parsi. “Mungkin saja hal ini tidak akan berlanjut lebih lama lagi, karena kerugian yang ditimbulkan oleh hal ini terhadap Amerika Serikat tidak dapat ditoleransi.”(hanoum/arrahmah.id)