(Arrahmah.com) – Seorang muballigh mengisahkan kisah singkat perjalanannya berkaitan dengan wong ora mudeng (tidak ngeh, tidak konek) di Jawa Tengah.
Dikisahkan, hari sudah sore, bus dari Ampel ke Simo hanya sampai di Papringan, lalu balik dengan alasan tidak ada lagi penumpang. Padahal Simo masih 7 KM lagi. Sedang tempat yang dituju muballigh ini masih 7 KM lagi dari Simo.
Di dalam bus ada satu lagi penumpang yang akan ke Simo. Dia memberitahu agar sang Muballigh memanggil penjemput. “Saya juga sudah memanggil”, kata orang ini dengan menjelaskan, tujuannya masih 2 KM lagi dari Simo.
Sesampai di Papringan, Muballigh dan seseorang itu menunggu orang yang mereka panggil masing-masing. Tahu-tahu yang hadir duluan justru penjemput sang Muballigh. Sedang penjemput seseorang itu yang jaraknya lebih dekat justru belum datang. Sebelum sang Muballigh berangkat bersama penjemput, menunggu dulu untuk berpamitan dengan seseorang itu yang sedang menelepon balik. Ternyata, yang dia panggil via telepon tadi ora mudeng (tidak ngeh). Hingga sampai ditelepon kembali, dia masih ada di rumah.
Ora mudeng kenapa?
Kalimatnya sama. Yang disampaikan sang muballigh dan seseorang itu kepada yang dia panggil sama. Yaitu: “Saya naik bus dari Ampel ke Simo, tapi busnya hanya sampai Papringan.”
Yang dihubungi oleh seseorang itu tidak ngeh (ora mudeng) kalau kalimat itu tadi maksudnya minta dijemput. Dianggapnya itu hanya berita belaka. Akibatnya setelah diteleponi lagi maka gelagapan dan minta maaf, kemudian buru-buru menjemput. Namun sudah telat, dan mereka tidak bisa berbuka puasa di rumah tepat waktunya seperti yang diharapkan.
Kisah pengalaman muballigh itu kemudian disampaikan kepada jamaah di pengajian masjid dikaitkan dengan malam lailatul qadar. Dalam Al-Qur’an dijelaskan di surat Al-Qadar, inna anzalnahu.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (٣)
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (QS Al-Qadr : 3).
Kata sang muballigh, bagi orang yang mudeng (faham, ngeh) maka dia berupaya untuk meraih kebaikan itu dengan ibadah, amaliyah yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sebaliknya, ketika sudah ada ayat seperti itu namun dia diam saja, berarti dia itu wong ora mudeng, mirip orang yang disuruh menjemput tadi, tetapi ora mudeng, maka diam saja padahal sudah ditunggu-tunggu.
Penafsir ora mudeng tapi malah ditampil-tampilkan
Peristiwa wong ora mudeng itu berlangsung di saat sedang ramai-ramainya penafsir ora mudeng pula, namun kabarnya banyak digemari orang karena ditampil-tampilkan. Lha namanya penafsir atau ahli tafsir, lha kok ora mudeng kalau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu telah mendapatkan jaminan masuk surga. Kata dia (Quraish Shihab Ahli Tafsir): “Tidak benar… saya ulangi, tidak benar bahwa Nabi Muhammad sudah dapat jaminan surga.” kata pengarang Tafsir al-Misbah itu. “Heeem..” gumam si pemandu acara. Masih kata pakar tafsir itu, “Surga itu hak prerogatif Allah. Ta toh…”. Kemudian dia menyodorkan sebuah hadits yang berbicara bahwa tidak seorangpun masuk surga karena amalnya (Metro TV 12 Juli 2014 pk 03.49 wib).
Perlu dipertanyakan kepada penafsir yang ora mudeng, apakah ketika “Surga itu hak prerogatif Allah » berarti tidak boleh Allah berikan jaminan kepada siapapun ?
Sedangkan dalam Al-Qur’an, Allah telah berfirman :
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar.” [QS. Al-Kautsar: 1]
Mengenai tafsir surat al-Kautsar, disebutkan dalam hadits
عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « أُنْزِلَتْ عَلَىَّ آنِفًا سُورَةٌ ». فَقَرَأَ « بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ) ». ثُمَّ قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ ». فَقُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ…
Dari Sahabat mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun dari tidur sambil tersenyum.
‘Apa yang membuat anda tertawa, wahai Rasulullah?’ tanya kami.
“Baru saja turun kepadaku satu surat.” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat al-Kautsar hingga selesai.
“Tahukah kalian, apa itu al-Kautsar?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu.” Jawab kami.
Kemudian beliau bersabda,
“Itu adalah sungai, Allah janjikan untuk diberikan kepadaku di Surga. Jumlah gayungnya sebanyak bintang..” (HR. Muslim 400, Ahmad 11996, Nasai 904, Abu Daud 784, dan yang lainnya). (lihat Bantahan untuk Pernyataan Kontroversial Bapak Quraish Shihab oleh koepas.org).
Mari kita ulangi sabda Rasul shallalahu ‘alaihi wa sallam:
قَالَ « فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ…”
Beliau bersabda,
” (Al-Kautsar) Itu adalah sungai, Allah janjikan untuk diberikan kepadaku )di Surga…(” (HR Muslim)
Bahwa al-Kautsar itu sungai di surga dijelaskan dalam hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْكَوْثَرُ نَهْرٌ فِى الْجَنَّةِ
Dari Abdillah bin Umar, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Al-Kautsar adalah sungai di surga… (HR At-Tirmidzi, shahih).
Dari kalimat dalam hadits shahih itu, siapapun (selain wong ora mudeng) pasti faham bahwa janji Allah memberikan Al-Kautsar yakni sungai di surga kepada Nabi-Nya itu ya sudah pasti jaminan. Sehingga hanya wong ora mudeng yang tidak malu-malu berkata:
“Tidak benar… saya ulangi, tidak benar bahwa Nabi Muhammad sudah dapat jaminan surga.”
Kalau dia itu seorang penafsir, berarti ya penafsir jenis wong ora mudeng.
Di samping itu, seorang dosen di Pasuruan Jatim mencatat: Harap diketahui pembaca, tercatat sudah empat kali pakar tafsir ini mengeluarkan pendapat kontroversial, diantaranya: persoalan hijab tidak wajib bagi muslimah (buku Jilbab, tahun 2004), penggunaan katub jantung babi untuk pengganti katub jantung manusia yang sakit (Tafsir al-Misbah Vol 3, th 2005, hal 16), bolehnya mengucapkan selamat natal (buku 1001 soal keislaman, th 2008), dan titik temu Sunni-Syiah (Lentera Hati, th 2010). Mudah-mudahan kedepannya, pakar tafsir tersebut tidak ceroboh lagi dalam mengeluarkan pendapat yang mana pendapatnya itu bisa menggoyahkan iman orang awam. (Pakar Tafsir Belum Tentu Masuk Surga, SI Online).
Yang perlu dipertanyakan, kenapa penafsir ora mudeng justru disiar-siarkan lewat tv segala bahkan buku-buku atas nama Tafsir al-Misbah dan lainnya diedarkan ke masyarakat? Untuk apa?
Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis: Hartono Ahmad Jaiz
(azm/arrahmah.com)