Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi
Wacana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% nampaknya tidak sekadar isapan jempol semata. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memberikan sinyal yang kuat bahwa tarif PPN yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) akan naik menjadi 12% pada Januari 2025 tetap dilaksanakan. Hal itu disampaikan pada saat rapat kerja dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR di Komisi XI DPR. Ia menjawab pertanyaan para anggota DPR terkait kenaikan PPN menjadi 12% tersebut, bahwasanya hal itu sudah sesuai undang-undang, tinggal persiapan agar bisa dijalankan serta menjelaskan secara gamblang kepada masyarakat tentang latar belakang kebijakan itu hingga manfaatnya bagi keuangan negara. (CNBC Indonesia, 25/11/2025)
Di sisi lain, aksi penolakan pun menguat dari berbagai kalangan termasuk mahasiswa. Tercatat sebanyak 197.753 orang meneken petisi menolak kenaikan PPN 12%. Menurut inisiator petisi, Bareng Warga, kenaikan PPN tersebut akan memperdalam kesulitan masyarakat, sebab kebijakan tersebut diberlakukan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang serba sulit. Lapangan kerja minim, PHK di mana-mana, pengangguran pun kian meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran terbuka masih di kisaran 4,91 juta orang. Selain itu, pendapatan atau upah masyarakat juga masih terdapat masalah, semakin mepet dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Dampak lainnya dari kenaikan PPN adalah harga barang yang ikut naik dan tentu sangat mempengaruhi daya beli masyarakat dan lesunya kegiatan ekonomi. (CNN Indonesia, 28/12/2024)
Sungguh, kebijakan tarif pajak menjadi 12% bukan keputusan yang bijak bagi rakyat negeri ini, bahkan bisa dikatakan zalim. Meskipun pajak tersebut hanya diberlakukan bagi barang dan jasa yang terkategori mewah dan dikonsumsi oleh masyarakat mampu, tidak ada jaminan jika barang yang lainnya pun tidak akan ikut naik.
Kebijakan Kapitalisme Sekuler yang Menyengsarakan
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% di awal tahun ini, bagaikan pil pahit yang harus ditelan rakyat. Karena dengan kenaikan tersebut sudah pasti berimbas pada naiknya berbagai layanan serta harga-harga. Mirisnya, meski keadaan rakyat sedang kesulitan, tetapi pemerintah bergeming. Kebijakan tetap berlanjut dengan berbagai alasannya. Karena hanya dengan pajaklah negara dapat dengan mudah memperoleh tambahan pemasukan, meski hal itu mendapat penentangan dari berbagai pihak. Padahal masih banyak sumber pemasukan lainnya, seperti sumber kekayaan alam, jika dikelola sesuai syariat maka akan mampu menyejahterakan rakyat. Sayangnya SDA ini justru dikelola oleh pihak swasta, lokal maupun asing. Selain itu, dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara terbesar, sehingga pajak menjadi satu keniscayaan. Begitu pula dengan kenaikan besaran pajak dan berbagai jenis pungutannya.
Dalam kapitalisme, pajak diberlakukan kepada seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin karena merupakan kewajiban yang harus dibayar. Dari sini terlihat bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang membiayai berbagai layanan kebutuhannya. Negara enggan memberikan pelayanan yang secara hakikatnya adalah hak rakyat, karena rakyat dalam pandangan kapitalis sekuler dianggap sebagai beban negara. Sebaliknya, perlakuan berbeda ditunjukkan negara kepada para pemodal bahkan negara seringkali memberikan amnesti atau pengampunan pajak kepada para pengusaha, tetapi tidak kepada rakyat. Hal itu dikarenakan penguasa dalam sistem kapitalisme tidak berfungsi sebagai raa’in (pengurus rakyat), akan tetapi lebih terlihat sebagai regulator dan fasilitator bagi kepentingan para kapital. Sementara rakyat yang seharusnya mendapat pelayanan dan jaminan kebutuhan hidupnya malah terabaikan, bahkan menjadi sasaran berbagai pungutan yang semakin menyengsarakan.
Itulah akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler yang diemban negeri ini. Sistem kapitalisme yang berasaskan materi dan keuntungan semata telah membuat penguasa negeri ini hilang rasa empati terhadap rakyat. Namun lebih membela para kapital yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka. Ditambah lagi sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan berbagai kebijakan yang diambil didasarkan pada pemikiran manusia, jauh dari aturan agama. Sehingga kerap menzalimi, tidak membawa kebaikan apalagi kesejahteraan.
Sistem Islam Menjamin Kesejahteraan Rakyat
Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara, sistem ekonomi Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir pemasukan negara. Itupun dipungut jika kondisi negara sedang sulit, atau kas baitulmal kosong karena paceklik, terjadi musibah, dan sebagainya. Pajak juga tidak diberlakukan kepada semua warga, akan tetapi hanya dipungut pada kalangan tertentu saja sesuai dengan kebutuhannya. Jika sudah mencukupi maka penarikan pajak akan dihentikan.
Selain itu, Islam menetapkan penguasa sebagai raa’in (pengurus rakyat), dan junnah (pelindung), sehingga ia harus bertanggung jawab penuh terhadap urusan rakyatnya, memenuhi kebutuhannya individu per individu. Sebagaimana sabda Rasul saw.: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Sistem ekonomi Islam juga mengatur terkait kepemilikan. Sumber daya alam yang melimpah ditetapkan sebagai milik umum yang akan dikelola oleh negara, dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan urusan hidup rakyat. Seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang akan didapatkan secara gratis dan berkualitas oleh rakyat. Dengan mekanisme seperti ini negara sangat mampu menyejahterakan rakyatnya, karena pendapatan dari pengelolaan SDA ini sangat besar. Belum lagi pemasukan dari pos lain seperti, kharaj, fa’i, ghanimah, jizyah, dan lain sebagainya.
Hanya dengan sistem ekonomi Islamlah, rakyat dapat hidup sejahtera. Karena aturan tersebut datang dari Allah Swt., sebagai pencipta dan pengatur segala urusan umat-Nya. Didukung juga oleh pemimpin yang amanah, mencintai rakyatnya, dan tunduk patuh pada aturan Allah Swt. saja, sehingga tidak ada satu aturan pun yang merugikan apalagi menzalimi rakyatnya. Akan tetapi sebaliknya, rakyat akan sejahtera di bawah penerapan aturan Islam yang kafah (menyeluruh).
Wallahu a’lam bis shawab.