JAKARTA (Arrahmah.com) – Kenaikan harga BBM dan kebijakan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dapat menjadi hal yang posif dan negatif. Dalam bahasa Irmanputra Sidin, bisa menjadi madu dan racun. “Presiden terus mencari dukungan politik dari parpol¸ karena memang disadari, bahwa perbuatan hukum otonom itu sesungguhnya bisa jadi “madu” namun juga bisa jadi “racun”,” ujar Irman kepada wartawan di Jakarta, Rabu, (12/6/2013)
Menjadi madu saat kebijakan terlegitimasi, kompensasi dibaliknya seperti BLSM atau BLT menjadi diterima publik sebagai suatu “kedermawanan politik”, maka akan menjadi citra positif bagi kekuatan pemerintahan itu untuk pemilu berikutnya.
Menurut Irmanputra Sidin, Pakar Hukum Tata Negara, harus ditata bahwa penentuan harga BBM beserta kompensasinya, tidak boleh menjadi otoritas otonom Presiden yang cukup dilakukan dengan regulasi pemerintah, seperti Perpres atau lainnya, meski itu sudah mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang.
Salah satu alasannya karena BBM itu termasuk cluster yang “dikuasai negara karena menguasai hajat hidup orang banyak dan harus untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
“Rakyat yang dimaksud adalah rakyat diseluruh kasta sosial, yaitu miskin, kelas menengah dan kelas atas. Penentuan harga BBM berikut kompensasinya, sebaiknya harus rakyat langsung melalui wakilnya di DPR berikut kebijakan kompensasinya. Artinya, bahwa penentuan harga BBM berikut kompensaisinya, bukan dengan regulasi pemerintah (executive rules) namun dengan aturan rakyat yaitu (legislative rules) dalam hal ini adalah undang–undang,” ujar doktor hukum Unhas ini. Lansir Tribunnews.
Dengan menggunakan UU, maka hal ini tidak memiki implikasi madu-racun bagi kekuatan politik pemerintah, karena semuanya sudah disetujui DPR bukan Parpol atau kekuatan politik seperti yang dilakukan selama ini.
“Oleh karenanya kewenangan otonom Presiden untuk menentukan harga BBM berikut kompensasinya, tidak bisa dibaca sebatas kewenangan presidensial, tetap bisa juga terbaca sebagai “ranjau konstitusional” yang bisa menjadi racun bagi kelangsungan hidup presidensial dalam periode pemerintahannya,” kata Irmanputra.
Kebijakan menaikkan harga BBM bisa menjadi ranjau dan racun jikalau ternyata, kebijakan itu tak terlegitimasi, dan menimbulkan eskalasi penolakan yang besar, maka klausula pemakzulan (impeachment article) Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden bisa diberhentikan karena sebab dugaan melakukan “perbuatan tercela” atau “tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden” akan bisa menjadi “racun” yang siap mengancam kelangsungan hidup pemerintahan ini.
(azmuttaqin/arrahmah.com)