GAZA (Arrahmah.com) – Alih-alih pergi ke sekolah, Walid dan Ibrahim menghabiskan berjam-jam waktunya setiap hari mengobrak-abrik rumah yang hancur dalam perang Gaza mencari bongkahan-bongkahan agar bisa mendapatan sedikit uang untuk keluarga mereka.
Mereka adalah murid yang cerdas, tapi Walid Ma’ruf, (11), dan Ibrahim Ghaben, (12), harus berhenti sekolah dan mencari nafkah ketika ayah mereka harus kehilangan pekerjaannya.
Warga Gaza telah hidup di bawah blokade “Israel” yang dikenakan 10 tahun yang lal, dan jalur penyeberangan lainnya juga telah dibatasi oleh Mesir. Mesir menutup perbatasannya dengan Gaza sejak 2013.
Hampir separuh penduduk Gaza hidup di bawah garis kemiskinan. 80 persen masih hidup dengan mengandalkan bantuan kemanusiaan.
Pengangguran telah meningkat secara dramatis, mencapai sekitar 45 persen, salah satu yang tertinggi di dunia.
Menurut perkiraan, pekerja anak telah meningkat dua kali lipat selama lima tahun terakhir, dengan 9.700 anak-anak berusia antara 10 dan 17 tahun bekarang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya.
“Ayah saya menganggur, ia dulunya bekerja mengumpulkan batu dan besi tua … tapi sekarang saya yang bekerja,” kata Ibrahim yang memperoleh sekitar 20 shekel [$ 5] hari – bekerja keras selama enam sampai 12 jam – untuk memberi makan keluarganya yang berjumlah sembilan orang.
Anak laki-laki itu, yang terlihat jauh lebih tua dari usianya, mengatakan bawa ia dan ayahnya dulunya mengangkut benda-benda hasil dari memulung dengan gerobak yang ditarik keledai, tapi sekarang keledai itu telah mati.
Sepanjang hari, sering di bawah terik matahari membakar atau ditengah deru angin, anak laki-laki seperti Walid dan Ibrahim menjelajahi komplek Beit Lahiya – dekat pagar perbatasan “Israel” di Gaza utara – untuk mencari rongsokan kemudian menjualnya ke perusahaan daur ulang.
Wilayah ini menjadi empat favorit untuk memulung, karena banyak ditemukan timah dari bekas amunisi “Israel”, tetapi juga sangat berisiko, karena mereka bisa saja menjadi sasaran peluru yang ditembakan dari penjaga perbatasan.
“Sebagian besar anak-anak yang bekerja itu memulung di lingkungan sepanjang pagar perbatasan, dan ini adalah daerah termiskin,” kata psikolog Aida Kassab dari Program Kesehatan Mental Masyarakat Gaza, sebagaimana dilansir Al Araby, Sabtu (11/6/2016).
(ameera/arrahmah.com)