KHARTOUM (Arrahmah.com) – Ketika Samir Gasim tengah mengatasi masalah yang dihadapi pabrik panganan dan pengemasannya di Khartoum, yang sudah berjalan jauh di bawah kapasitas, pemadaman listrik dan generator terjadi.
Kini dia khawatir pabrik tersebut akan benar-benar ditutup karena kenaikan delapan kali lipat dalam harga solar industri yang diberlakukan oleh pemerintah yang saat ini menghadapi protes terbesar sejak Presiden Omar Al-Bashir berkuasa 30 tahun lalu, lansir Reuters pada Rabu (20/2/2019).
“Kami mendukung penghapusan subsidi, tetapi secara bertahap, selama lima tahun. Tidak dalam semalam,” ujar Gasim, yang duduk di kantor pabriknya yang sederhana.
“Kalau tidak, itu akan menjadi bencana.”
Krisis ekonomi yang memburuk di Sudan telah menyebabkan kekurangan bahan bakar, uang tunai dan roti, yang pada gilirannya memicu gelombang kerusuhan yang terus melonjak di seluruh negeri selama dua bulan terakhir.
Kemerosotan ekonomi juga telah mengasingkan kelas profesional, yang menyalahkan Bashir dan Partai Kongres Nasional yang berkuasa atas masalah mereka, menurut pengusaha, aktivis dan akademisi. Itu telah merongrong otoritas Bashir dan mendorong gerakan protes yang tetap berlangsung meskipun ada tindakan keras dari pasukan keamanan di mana puluhan orang telah tewas.
Asosiasi Profesional Sudan (SPA) yang telah memposting seruan untuk protes dan pemogokan di media sosial, menarik para dokter, guru dan pengacara dan yang lainnya, mengeluhkan pengelolaan ekonomi yang salah selama beberapa dekade.
Didirikan pada tahun 2015, organisasi tersebut berencana untuk mengajukan permintaan kepada parlemen untuk menaikkan gaji pokok sektor publik.
“Kami memutuskan untuk menaikkan lagi tuntutan kami dari peningkatan upah dan lingkungan kerja dan hak untuk membentuk serikat pekerja profesional, hingga menuntut berakhirnya rezim,” ujar Mohamed Yousef, juru bicara SPA dan profesor ekonomi di Universitas Khartoum.
Di negara di mana lebih dari separuh populasi berusia di bawah 19 tahun, banyak pendemo adalah pria dan perempuan muda yang berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang bisa memberi mereka upah yang layak. Pengangguran naik dari 12 persen pada 2011 menjadi sekitar 20 persen dalam beberapa tahun terakhir, dengan pengangguran di kalangan pemuda mencapai 27 persen, menurut perkiraan IMF dan Bank Dunia.
Sudan telah memiliki utang luar negeri lebih dari 50 miliar USD. Pada akhir 2018 inflasi mencapai lebih dari 70 persen. Kemudian merosot ke 43 persen, menurut angka resmi, meskipun seorang ekonom yang berbasis di AS mengatakan hampir dua kali lipat. (haninmazaya/arrahmah.com)