KABUL (Arrahmah.id) – Kementerian Luar Negeri Imarah Islam Afghanistan mengatakan pada Jumat (24/1/2025) bahwa pihaknya mengutuk keras dan menolak permintaan Mahkamah Pidana Internasional untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk dua pemimpin Imarah Islam.
Dalam sebuah pernyataan, kementerian luar negeri Imarah Islam mengatakan bahwa surat perintah tersebut, yang menuduh kedua pemimpin melakukan penganiayaan terhadap perempuan dan anak perempuan, “tidak memiliki dasar hukum yang adil, ditandai dengan standar ganda, dan bermotif politik”.
Jaksa penuntut ICC mengumumkan pada Kamis bahwa mereka sedang mengejar surat perintah untuk amir Imarah Islam Afghanistan, Haibatullah Akhundzada, dan Abdul Hakim Haqqani, yang telah menjabat sebagai hakim agung Afghanistan sejak 2021, lansir Reuters.
Penganiayaan telah terjadi di seluruh Afghanistan setidaknya sejak 15 Agustus 2021 -hari di mana pasukan Imarah Islam merebut ibu kota Kabul setelah perlawanan selama dua dekade melawan pemerintah yang didukung Barat- hingga hari ini, klaim jaksa penuntut.
Pernyataan kementerian luar negeri Imarah Islam menambahkan: “Sangat disesalkan bahwa selama dua dekade pendudukan di Afghanistan, lembaga ini (ICC) menutup mata terhadap kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan asing dan sekutu dalam negerinya.”
Kelompok advokasi hak asasi manusia, Amnesti Internasional, pada Jumat mengatakan bahwa pengumuman jaksa penuntut ICC tersebut merupakan “sebuah perkembangan penting”.
“Ini adalah langkah penting untuk meminta pertanggungjawaban semua pihak yang diduga bertanggung jawab atas perampasan hak-hak dasar berbasis gender,” klaim Sekretaris Jenderal Amnesti, Agnès Callamard.
Dia menambahkan bahwa Amnesti juga meminta jaksa penuntut ICC untuk mempertimbangkan kembali keputusan pada 2021 untuk tidak memprioritaskan investigasi terhadap dugaan kejahatan perang oleh pasukan internasional selama 20 tahun kehadiran mereka di Afghanistan.
“Keputusan ini berisiko berkontribusi pada persepsi tentang pendekatan selektif terhadap keadilan internasional yang memprioritaskan kepentingan negara-negara kuat dan sekutunya di atas hak atas keadilan bagi para korban kejahatan di bawah hukum internasional,” katanya. (haninmazaya/arrahmah.id)