Pada Kamis, 18 Januari, untuk hari kedua berturut-turut, pasukan “Israel” melanjutkan serangan mereka ke kota Tulkarem, timur laut Tepi Barat yang diduduki. Selama 48 jam terakhir, “Israel” membunuh sepuluh warga Palestina di Tepi Barat.
Setelah lebih dari 12 jam penggerebekan di kamp pengungsi Tulkarem, yang berlangsung hingga Rabu malam (17/1/2024) dan menewaskan lima warga Palestina, pasukan “Israel” melancarkan serangan lain ke kamp pengungsi Nour Shams pada Kamis pagi (18/1).
Selama penggerebekan di Tulkarem pada Rabu (17/1), pasukan “Israel” menangkap puluhan warga Palestina dan menggeledah rumah-rumah di tengah konfrontasi dengan pejuang Palestina setempat.
Media “Israel” melaporkan bahwa seorang tentara “Israel” terluka parah.
Pada Kamis (18/1), pertempuran berlanjut di Nour Shams, di mana pejuang Palestina di Brigade Tulkarem mengumumkan bahwa mereka berhasil menargetkan buldoser militer “Israel” dengan alat peledak lokal.
Pasukan “Israel” telah berusaha mengalahkan Brigade Tulkarem selama hampir satu tahun.
Warisan Tulkarem
Tulkarem adalah kota berpenduduk sekitar 150.000 jiwa, terletak di wilayah pertanian bersejarah Palestina, yang berada tepat di tepi garis gencatan senjata setelah perang 1948. Garis tersebut, yang kemudian dikenal sebagai ‘Garis Hijau’, menjadi perbatasan negara “Israel” yang diakui secara internasional, yang ditetapkan dengan kekerasan dalam apa yang dikenal sebagai “Nakba”.
Selama Nakba pada 1948, Tulkarem menampung ribuan warga Palestina yang diusir dari kota-kota mereka oleh pasukan Zionis dari daerah yang sekarang menjadi distrik “Israel” di utara Tel Aviv, Raanana dan Natanya. Para pengungsi ini ditampung di dua lokasi di sekitar Tulkarem, yang kemudian menjadi kamp pengungsi Nour Shams dan Tulkarem.
Sepanjang 1970-an dan 1980-an serta Intifada Kedua di awal 2000-an, beberapa generasi pejuang bersenjata Palestina muncul dari dua kamp pengungsi tersebut.
Beberapa tokoh terkenal termasuk Khader Taleb, yang mendirikan sel bersenjata The Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) pertama di kota tersebut dan dibunuh pada 2002 oleh pasukan “Israel”. Yang lainnya adalah Dr Thabet Thabet, seorang dokter gigi dan intelektual, anggota senior Fatah dan teman dekat pemimpin Palestina Yasser Arafat, yang dibunuh oleh pasukan khusus “Israel” pada 2000 setelah menuduhnya membentuk sel bersenjata di Tulkarem.
Tokoh paling terkenal dalam perlawanan bersenjata Palestina di Tulkarem pada 2000-an, yang penting untuk memahami situasi saat ini, adalah Raed Al-Karmi—pemimpin sayap bersenjata Fatah, Brigade Syuhada Al-Aqsa. Pasukan khusus “Israel” membunuhnya pada Januari 2002.
https://twitter.com/BigTimeCommie/status/1746613273582018907?ref_src=twsrc%5Etfw%7Ctwcamp%5Etweetembed%7Ctwterm%5E1746613273582018907%7Ctwgr%5Ec59247f2034510a98fb638d23f1aaeabeb3989c1%7Ctwcon%5Es1_&ref_url=https%3A%2F%2Fwww.newarab.com%2Fnews%2Frapid-response-back-what-happening-tulkarm
Dua dekade setelah Intifada kedua, aktivisme bersenjata Palestina melonjak di wilayah utara Tepi Barat yang diduduki.
Kelompok bersenjata lokal mulai terbentuk pada akhir 2021 untuk menantang pasukan dan pemukim “Israel” setelah “Israel” melancarkan gelombang penggerebekan di Jenin usai enam warga Palestina melarikan diri dari penjara dengan keamanan tinggi “Israel” di Gilboa pada September 2021.
Pada awal 2022, Brigade Jenin lahir, disusul oleh kelompok Lions’ Den di Nablus.
Pemuda Palestina yang membentuk kelompok ini berasal dari faksi politik yang berbeda atau tidak memiliki afiliasi politik apa pun.
Berbekal senjata api pribadi dan bahan peledak buatan lokal, aktivitas kelompok-kelompok ini terfokus pada penembakan pos-pos militer dan permukiman “Israel” serta menghadapi serangan pasukan “Israel” di kota-kota mereka.
Reaksi pasukan “Israel” terhadap gelombang ini adalah dengan meningkatkan kekerasan dan intensitas serangan, dengan melancarkan serangan udara menggunakan helikopter dan drone pada Juli 2023, yang belum pernah terjadi di Tepi Barat sejak 2002.
Lahirnya Brigade Tulkarem
Di Tulkarem, kembalinya perlawanan bersenjata terjadi sebagai reaksi terhadap meningkatnya serangan “Israel” terhadap Jenin dan Nablus.
Pada akhir 2021, seorang warga Palestina berusia 20 tahun, Seif Abu Labadeh, mendirikan sel bersenjata di Tulkarem untuk sayap bersenjata Jihad Islam Palestina (PIJ). Dia terbunuh dalam penyergapan “Israel” antara Tulkarem dan Jenin pada April 2022.
Secara terpisah, kelompok lain yang meniru Lions’ Den muncul dan menamakan dirinya The Falcons’ Nest pada Oktober 2022. Sementara itu, dua pemuda Palestina berusaha menghidupkan kembali warisan sayap bersenjata Fatah, Brigade Syuhada Al-Aqsa di kota tersebut.
Salah satunya adalah Ameer Abu Khadijah (24). Dia lulus dari universitas beberapa tahun sebelumnya dan bekerja sebagai polisi di pasukan keamanan Otoritas Palestina. Dia dipecat dari pekerjaannya dan kemudian mencari pekerjaan di bidang konstruksi.
Yang lainnya adalah Jihad Shehadeh (24). Shehadesh adalah putra seorang anggota Fatah sekaligus mantan anggota Black Panthers Fatah yang terkenal pada 1980an. Shehadeh dan Abu Khadija membentuk kelompok yang memproklamirkan diri sebagai bagian dari Brigade Syuhada Al-Aqsa yang disebut Rapid Response.
Rapid Response mengacu pada pemimpin Brigade Syuhada Al-Aqsa di Tulkarem selama intifada kedua, Raed Al-Karmi, yang diberi julukan tersebut karena ia melancarkan serangan balasan terhadap sasaran “Israel” kurang dari 24 jam setelah salah satu rekannya dibunuh, seperti setelah pembunuhan Dr Thabet Thabet.
Shehadeh dan Abu Khadijah memilih julukan ini untuk kelompok mereka, yang menunjukkan bahwa generasi baru sedang mengambil warisan perlawanan bersenjata Fatah di Tulkarem.
Al-Quds Brigades – Tulkarm Brigade: Our members were able to detonate a bomb directly with the occupation bulldozer in the middle of Nour Shams camp, and we confirm that those inside it were killed and wounded.#Gaza #Palestine #Israel #GazaWar pic.twitter.com/v4FHPp9YDJ
— Authentic World Updates (@worldupdates245) January 18, 2024
Pada akhir Februari 2023, pasukan “Israel”membunuh 11 warga Palestina dalam serangan di Nablus dan melukai sekitar 100 orang.
Di antara para korban terdapat seorang pria berusia 72 tahun yang ditembak mati oleh pasukan “Israel” di pasar populer di kota tua Nablus dan seorang pria berusia 61 tahun yang diidentifikasi di rumah sakit oleh putranya, yang sedang bertugas sebagai perawat di sana.
Menanggapi pembantaian Nablus, tiga kelompok perlawanan di Tulkarem bergabung dengan nama gabungan Brigade Tulkarm – Rapid Response.
Pada awal Maret, sekelompok pria bersenjata bertopeng membacakan pernyataan pertama brigade tersebut di depan sekelompok kecil orang di alun-alun utama Tulkarem. Orang yang membaca pernyataan itu adalah Amir Abu Khadijah.
Segitiga Jenin-Nablus-Tulkarem
Abu Khadijah dibunuh oleh pasukan “Israel” sebulan kemudian dalam baku tembak dengan tentara “Israel” yang mengepung sebuah rumah tempat dia bersembunyi di desa Izbat Shufa, yang terletak di pinggiran tenggara Tulkarem.
Dalam sebuah wawancara dalam bahasa Arab dengan media lokal Palestina Ultra Palestine, yang diterbitkan pada 6 Maret 2023, seorang anggota brigade Tulkarem mengatakan bahwa kelompok tersebut melampaui afiliasi politik dan termasuk dalam jajarannya individu-individu yang tergabung dalam Fatah, Hamas, PIJ dan PFLP.
Wawancara tersebut dilakukan dalam konteks protes di Tulkarem terhadap upaya pasukan keamanan Otoritas Palestina (PA) menangkap anggota brigade untuk membendung pengaruhnya yang semakin besar. Pejuang yang tidak disebutkan namanya itu menggunakan wawancara tersebut untuk menegaskan bahwa brigade tersebut tidak berselisih dengan Otoritas Palestina dan menyerukan kepada warga Palestina untuk tidak memulai konfrontasi satu sama lain.
Pembentukan Brigade Tulkarem membentuk segitiga perlawanan bersenjata Palestina bersama Jenin dan Nablus, mengingatkan kita pada momok Intifada kedua, di mana segitiga serupa menjadi tulang punggung perlawanan bersenjata Palestina pada periode itu.
Pada Juli 2023, pasukan “Israel” meningkatkan serangan kekerasan mereka, dan kini mengandalkan serangan udara, yang pertama kali digunakan di Jenin.
Dalam setiap penyerbuan, pasukan “Israel” dihadang oleh para pejuang Palestina, yang kinerjanya tampak meningkat, dan mereka berhasil merusak kendaraan militer “Israel” dan melukai atau membunuh tentara “Israel”.
Pada Oktober, ketika sebagian besar perhatian media terfokus pada invasi “Israel” di Gaza, pasukan “Israel” menyerbu Tulkarem dan membunuh tujuh warga Palestina. Dalam penggerebekan itu, delapan tentara “Israel” terluka saat melawan pejuang brigade tersebut.
“Pengalaman bertempur para pejuang Tulkarem berkembang relatif lebih cepat dibandingkan di Jenin karena pengalaman tersebut dikumpulkan selama dua tahun di Jenin, kemudian di Nablus, dan kemudian diekspor ke Tulkarem”, Bilal Shalash, seorang sejarawan yang berspesialisasi dalam sejarah perlawanan Palestina, mengatakan kepada The New Arab.
“Ini adalah pola dalam sejarah kontemporer Palestina. Perlawanan bersenjata berkembang di satu wilayah, pasukan “Israel” menindaknya, dan pengalaman berpindah ke tempat lain,” tambah Shalash.
Israeli forces, using militarized bulldozers, are relentlessly destroying infrastructure and residents vehicles in Tulkarm refugee camp for the second day. pic.twitter.com/N48BBRChly
— Quds News Network (@QudsNen) January 18, 2024
Hasil yang ambigu
“Hal yang sangat baru dalam gelombang perlawanan bersenjata saat ini adalah bahwa kelompok-kelompok ini tidak terkait dengan kepemimpinan pusat, sehingga lebih sulit bagi pendudukan untuk menghancurkan mereka dengan membunuh para pemimpin mereka. Meskipun ada upaya dari “Israel”, kelompok-kelompok ini masih terhubung”, Shalash mencatat.
“Tindakan keras terhadap Tulkarem saat ini sedang berlangsung sementara perlawanan di Jenin dan Nablus belum berhasil ditumpas meskipun telah menerima banyak pukulan, sehingga membuat situasi saat ini semakin rumit. Hasil dari konfrontasi saat ini di Tepi Barat bagian utara, khususnya di Tulkarem, juga sebagian bergantung pada bagaimana perang terjadi dalam waktu dekat di Gaza dan bagaimana situasi umum berkembang di wilayah Tepi Barat lainnya,” tambahnya.
Awal pekan ini, Faisal Salameh, seorang warga dan aktivis di Tulkarem, mengatakan kepada TNA bahwa setelah serangan “Israel” di kota tersebut, “pasukan pendudukan menyebabkan kerusakan besar, melibas jalan-jalan yang sudah dibuldoser di kamp-kamp pengungsi dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur, meledakkan pipa limbah dan mematikan jaringan air dan listrik”.
Ketika serangan “Israel” menjadi lebih sering dan brutal di kota-kota di Tepi Barat yang diduduki, para pejuang Palestina setempat melakukan perlawanan.
Pada titik ini, “Israel” terlibat dalam “front ketiga” di Tepi Barat sementara mereka mengklaim bahwa mereka berusaha menghindarinya.
Sementara itu, jumlah korban tewas warga Palestina, termasuk warga sipil, terus meningkat di Tepi Barat dengan setiap serangan baru “Israel”.
Sejak awal 2024, 48 warga Palestina telah dibunuh oleh pasukan “Israel” dan pemukim di Tepi Barat.
“Israel” telah membunuh 367 warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki sejak 7 Oktober. (zarahamala/arrahmah.id)