JAKARTA (Arrahmah.com) – Dalam sidang judicial review UU Pelarangan Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK), saksi ahli dari kelompok liberal (JIL) yang ingin mencabut UU Penodaan Agama, malah memamerkan penodaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Nampak jelas bahwa mereka ingin mencabut UU Penodaan Agama agar mereka bebas menodai, menghina dan melecehkan Islam.
Saksi ahli pemohon penghapusan UU Penodaaan Agama, Luthfie Assyaukanie dalam keterangannya menyamakan Nabi Muhammad SAW dengan nabi palsu Lia Eden. Ia menilai kasus Lia Eden sama dengan awal penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) ini menilai negara tidak perlu campur tangan dalam beragama dan keimanan seseorang.
“Apa yang dilakukan oleh Lia Aminudin, sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kesalahan Lia sama dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad waktu munculnya Islam,” kata Luthfi Assyaukanie dalam sidang MK di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu, (17/2) .
Luthfie yang mendirikan JIL bersama Ulil Abshar Abdalla ini juga menilai negara tidak boleh mengatur penafsiran agama. Dia memberikan contoh Hambali, pendiri Mazhab Hambali juga dipenjara karena beda penafsiran agama.
Penyataan Luhfie membuat suasana sidang di MK memanas. Pihak terkait dari Muhammadiyah, NU, MUI, DDII pun sontak langsung mengajukan keberatan dan pertanyaan. Sementara dari balkon yang sebagian besar dipenuhi kelompok pendukung UU Nomor 1/1965 langsung memberikan komentar tidak sedap. Sebagian mencaci maki dan sebagian mengumpat. “Munafik!” teriak salah satu orang.
Luthfie Assyaukanie akhirnya meminta maaf atas pernyataannya yang menyamakan Lia Eden dengan Nabi Muhammad. Ia juga mengakui pernyataan itu sangat sensitif.
“Saya di ruang kelas selalu berpikir apakah menyembunyikannya atau membukanya. Saya sudah konsultasi ke teman-teman tentang pernyataan ini apakah harus diungkapkan atau tidak. Dan saya sudah mengoreksi draft untuk MK hingga beberapa kali,” kata Luthfi .
“Saya juga memahami penyataan saya akan mengundang kontroversi seperti oleh perwakilan MUI tadi. Saya minta maaf kalau ini melukai,” tambah dia.
Peraih PhD Studi Islam dari Melbourne University ini mengaku bahwa kata menyamakan kesalahan antara Lia Eden dan Nabi Muhammad merupakan contoh ekstrem. Menurut dia, awalnya Islam salah menurut orang Quraisy. Muhammad lalu dikejar-kejar oleh kelompok mayoritas. Hal ini sama dengan sekarang, Lia Eden. “Kami cuma mau memberikan contoh yang ekstrem,” kilahnya.
Alumnus Jordan University ini juga meluruskan pemahaman penyamaan sekulerisasi dan sekulerisme menanggapi pernyataan hakim konstitusi. Menurut dia, sekulerisasi muncul jauh sebelum ada sekulerisme. Sekulerisasi memisahkan agama dengan dunia dalam pengertian positif.
Kesaksian Ketua Komnas HAM Menyimpang dari Tema Sidang
Kerancuan argumen anti UU Penodaan Agama juga dipertontonkan oleh Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim. Sebagai saksi ahli yang diajukan oleh pihak pemohon penghapusan UU Penodaaan Agama, keterangan Ifdhal Kasim di depan majelis hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) dipertanyakan berbagai pihak. Seperti Ketua MK Mahfud MD yang meminta Ifdal untuk mengacu kepada konstitusi Indonesia, bukan negara lain.
“Jadi yang diuji ini kan konstitusi UUD 1945, bukan konstitusi negara lain, UUD 1945 yang menjadi acuan,” kaya Mahfud MD.
Ifdhal menilai pasal 1 UU 1/1965 tentang Larangan Penodaan Agama perlu direvisi karena bias. Meski demikian, untuk pengaturan, negara harus menjaga penyebaran isu dan seruan membenci agama tertentu.
“Pasal itu sejalan dengan konstitusi tapi perlu diperbaiki karena konstitusi juga wajib menjaga ketentraman masyarakat,” kata Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim di depan majelis hakim konstitusi dalam keterangan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (17/2).
Penyataan ini membuat pertanyaan berbagai pihak bertanya-tanya kepada Komnas HAM. Bahkan, Ketua MK Mahfud MD menanyakan ketegasan pandangan Komnas HAM.
“Jadi,UU ini menurut anda, melanggar 1945 atau tidak? Kata “perlu direvisi” itu berarti tidak melanggar konstitusi. Dan itu bukan wewenang MK untuk mengadili, melainkan domain DPR dan Pemerintah ” tegasnya.
Ketua MUI, Amidhan yang hadir dalam sidang tersebut, menilai keterangan Ketua Komnas HAM bias dan menunjukkan ia tak menguasai permasalahan. Dia menilai, Ifdhal berpikir dari konsep kebebasan beragama, sedangkan yang dipermasalahkan adalah penodaan beragama.
“Padahal, UU yang diajukan pemohon adalah UU Penodaan Agama, bukan UU kebebasan beragama. Ini menunjukkan dia tak menguasai, ” pungkas Amidhan.
Begitulah kelompok liberal. Terlalu liberal dalam memahami persoalan hingga keluar dari tema sidang. Lebih liberal lagi, dalam sidang UU Penodaan Agama mereka malah menodai agama. Liberal model ini, dalam bahasa awam diterjemahkan sebagai sebuah kengawuran. Akankah MK mengabulkan gugatan kelompok ngawur? (voa-islam/arrahmah.com)