RANGOON (Arrahmah.com) – Memperparah ketegangan agama di Burma, sekelompok Budhis berpengaruh menyerukan pelarangan hijab di sekolah-sekolah, mengklaim bahwa penggunaan hijab oleh Muslimah “tidak sejalan dengan disiplin sekolah”.
“Kami akan menuntut pemerintah secara serius untuk melarang siswa Muslim mengenakan burqa di sekolah-sekolah pemerintah dan melarang pembunuhan hewan yang tak berdosa saat hari raya mereka (Idul Adha),” ujar organisasi yang mengklaim
melindungi “ras dan agama” di Burma, Ma Ba Tha, dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh Guardian pada Senin (22/6/2015).
Tuntutan Ma Ba Tha diumumkan selama konferensi akhir pekan lalu yang digelar di Rangoon untuk membahas rencana untuk mempromosikan “agenda nasionalis” menjelang pemilu tahun ini.
Dihadiri sekitar 1.300 biksu, konferensi tersebut merilis daftar rekomendasi untuk ditegakkan di wilayah yang memiliki komunitas Muslim.
Menjelaskan pergerakan tersebut, biksu Ma Ba Tha, U Pamaukkha mengklaim: “Ketika mereka (Muslim) tinggal di Myanmar, mereka harus mematuhi hukum dan peraturan negara.”
“Kami tidak menargetkan atau menyerang agama mereka,” lanjutnya mengklaim.
Kelompok ini sangat nyata kebenciannya terhadap Muslim, mereka terus memantau “kejahatan oleh non-Budhis” dan menggunakan media sosial untuk menyebarkan berita mengenai “ancaman” terhadap Budhis di Burma.
Namun fakta di lapangan mengatakan bahwa di tahun 2012 dan 2013, serangan oleh Budhis Burma telah meninggalkan ratusan Muslim rohingya terbunuh dan lebih dari 140.000 lainnya harus lari dari rumah mereka.
Banyak yang kini tinggal di kamp-kamp pengungsian akibat ledakan kekerasan sektarian.
Dibentuk dua tahun lalu, Ma Ba Tha telah berulangkali dikecam karena menyebarkan kekerasan antar-komunal di negara yang tengah bergolak.
Para pengamat memperingatkan pengaruh negatif dari gerakan tersebut bagi negara.
“Ma Ba Tha telah menjadi kekuatan politik yang tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dan sombong berdasarkan ekstrimisme agama dan pandangan sosial,” ujar David Mathieson, seorang peneliti senior di organisasi Burma untuk Hak Asasi Manusia seperti dilansir Guardian.
Selama beberapa minggu terakhir, ribuan pengungsi Rohingya melarikan diri dari Burma, terombang-ambing di lautan dan mendarat di Malaysia, Indonesia dan Thailand. Mereka telah ditolak mendapatkan hak-hak kewarganegaraan sejak amandemen undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 dan mereka diperlakukan seperti imigran ilegal di rumah mereka sendiri. (haninmazaya/arrahmah.com)