BURMA (Arrahmah.com) – Permohonan belas kasihan dari orang tua yang lumpuh, Daw Aye Kyi, tidak bisa menyelamatkan nyawanya ketika massa ekstrimis Buddha menikamnya enam kali setelah mereka menyerbu ke desa pertanian untuk memburu ummat Islam.
“Sebagai penganut agama yang ‘menjunjung tinggi’ budaya, seharusnya mereka memiliki rasa hormat kepada orang tua. Pembunuhan wanita tua ini seharusnya menjadi titik balik,” kata Richard Horsey, mantan pejabat PBB di Burma, mengatakan kepada The New York Times, Ahad (10/11/2013).
Lumpuh dari pinggang ke bawah, Aye Kyi terlalu berat bagi putri dan cucunya untuk membawanya ke hutan sekitarnya ketika ummat Buddha menyerang pertanian mereka.
Membawa parang dan pisau, tiga pria menikam wanita tua itu enam kali, meninggalkan tubuhnya merosot di samping rumah kayunya.
Aye Kyi adalah salah satu dari lima Muslim yang tewas dalam serangan di Thabyu Chaing bulan lalu selama ekstrimis Budha mengamuk yang menghancurkan lebih dari selusin rumah.
Pembunuhan seorang wanita tua tak berdaya tersebut adalah salah satu contoh yang paling jelas dari perasaan anti-Muslim di negara berpenduduk mayoritas Buddha ini, juga kurangnya simpati yang muncul dari pejabat negara atas laporan korban pembunuhan tersebut.
Warga di desa itu menuduh pemerintah telah mengabaikan permohonan mereka untuk membantu. Mereka mengonfirmasikan bahwa pihak berwenang mengetahui bahaya yang akan mengancam penduduk desa tersebut, karena mereka meminta warga desa sehari sebelum serangan untuk mendirikan sebuah gerbang di pintu masuk ke desa.
Beberapa jam kemudian pada awal 1 Oktober warga desa menerima laporan bahwa ada beberapa lusin pria yang mendekat, membuat panggilan telepon darurat untuk polisi dan unit militer yang beberapa mil jauhnya.
U Myint Aung, seorang petani Muslim, mengatakan pasukan keamanan menanggapi dengan skeptis.” Mereka bertanya kepada kami, ‘Apakah Anda yakin? Apakah Anda yakin?” Katanya.
“Kami mengatakan kepada mereka,’Ya, kami yakin. Ayo cepat!”
Sebuah kendaraan polisi datang dan dan para penyerangpun kabur sebelum waktu fajar.
Namun, massa yang menewaskan Aye Kyi kembali tengah hari , dan polisi telah pergi setelah menembak ke udara , warga desa mengatakan.
Ketika kepala polisi setempat, U Tin Maung Lwin, memeriksa tubuh Ibu Aye Kyi, putri dan cucunya ingat bahwa kepala polisi tersebut mengatakan, “betapa kejamnya!”
Namun dalam sebuah wawancara telepon, kepala polisi tersebut membantah menggunakan kata “kejam” untuk menggambarkan pembunuhan itu. “Saya tidak menggunakan kata-kata yang mendukung satu sisi atau yang lain,” katanya.
Kita vs Mereka
Muslim Burma menuduh ekstremis biksu Buddha yang telah mengobarkan ketegangan anti-Muslim di negara di mana Muslim dan Buddha hidup terjalin dengan damai selama berabad-abad.
“Mereka membenci Islam , dan mereka ingin Islam lenyap dari negara itu,” kata Daw Than Than Nwe, seorang wanita Muslim dari desa tersebut.
Kehidupan Aye Kyi sendiri adalah sebuah contoh hubungan yang erat antara Muslim dan Buddha.
Sebelum masuk Islam, Aye Kyi dibesarkan sebagai seorang Buddhis, yang kemudian menikah dengan seorang pria Muslim. Tiga dari empat anaknya memilih untuk menjadi Buddha. Buddha dan Muslim menanam padi bersama dan menghadiri pernikahan dan pemakaman satu sama lain. Bahkan ketika kekerasan pecah di tempat lain tahun lalu, desa tersebut tetap tenang.
Namun, baru-baru ini, warga Buddha mengangkat bendera Buddha di depan rumah mereka, dan itu pertama kalinya terjadi, yang memungkinkan massa untuk mengetahui mana rumah ummat Islam.
Perubahan di desa kecil itu adalah ketika mereka mengikuti kampanye yang diperjuangkan oleh para biksu Budha terhadap apa yang mereka sebut “musuh”, yang mengacu pada ummat Islam.
Mereka telah memberikan khotbah dan pidato yang membangkitkan permusuhan terhadap Muslim Burma, yang mengakibatkan terjadinya beberapa serangan kekerasan terhadap minoritas Muslim yang cukup besar di desa itu.
Lebih dari 200 orang tewas dan ribuan Muslim mengungsi dari rumah mereka setelah serangan terhadap Muslim di Burma Barat tahun lalu.
Lebih dari 42 orang juga tewas dalam serangan kekerasan terhadap Muslim di Burma tengah pada bulan April tahun ini.
Para Biksu disalahkan atas hasutan kebencian terhadap umat Islam dengan memberitakan apa yang disebut “gerakan 969” yang merupakan bentuk radikal nasionalisme anti-Islam yang mendesak umat Buddha untuk memboikot toko dan pelayanan jasa yang dikelola oleh Ummat Islam.
Wirathu, yang bangga sebagai seorang teroris Budha, memiliki ribuan pengikut di Facebook dan video YouTube yang telah ditonton puluhan ribu kali.
Dia juga memimpin kampanye ekstremis nasionalis “969” yang bertujuan untuk menciptakan sebuah negara apartheid.
Pesan Kebencian juga telah sampai kepada U Einda Sara, kepala biara sebuah kuil Budha yang besar di resor pantai yang paling terkenal di Myanmar, Ngapali.
Dalam sebuah wawancara di biaranya, kepala biara nampak sebagai khas ekstrimis biksu Budha yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat Burma dan jarang terjadi pertentangan publik.
Sara mengklaim bahwa wanita berusia 94 tahun itu-meskipun ia dilaporkan lumpuh- ia lari dan meninggal karena kekurangan oksigen.
Kontradiksi yang mencolok dengan versi polisi, kepala biara itu mengklaim bahwa tubuhnya mungkin dimutilasi oleh sesama Muslim untuk membuat umat Buddha terlihat buruk .
Dia bahkan membenarkan pembunuhan terhadap kaum Muslim dengan alasan bahwa itu untuk membela diri. Padahal yang terjadi saat itu adalah kaum muslim dalam posisi lemah tak berdaya yang sering mengalami penindasan dari mayoritas Buddha. (ameera/arrahmah.com)