TRIPOLI (Arrahmah.com) – Klaim oposisi datang saat kemanusiaan PBB mendapat akses kemanusiaan ke Misurata dan berupaya mengevakuasi mereka yang terdampar.
Pemimpin oposisi Libya mengatakan bahwa sedikitnya 10.000 orang tewas sejak awal konflik pada bulan Februari lalu.
Koresponden Al Jazeera, Mike Hanna melaporkan dari Benghazi mengatakan, “Mengingat intensitas konflik, tidak mengejutkan.”
“Kami telah berfokus pada daerah seperti Misurata, di mana krisis kemanusiaan didokumentasikan dengan baik, namun yang terjadi di Libya, tingkat krisis sepenuhnya tidak diketahui dan tidak ada dokumentasi nyata mengenai korban.”
PBB mengatakan telah menjamin akses kemanusiaan ke Misurata, sementara Inggris mengatakan akan mendanai upaya untuk mengevakuasi ribuan pekerja migran terdampar dengan perahu dari kota pelabuhan yang terkepung.
Seorang pejabat Libya mengatakan kepada Valerie Amos, kepala kemanusiaan PBB, bahwa pemerintah Muammar Gaddfi bersedia untuk menyiapkan “jalan aman” keluar dari kota yang sebagian tetap di tangan oposisi setelah berminggu-minggu diserang oleh tentara loyalis Gaddafi.
Sementara Andrew Mitchell, sekretaris pembangunan internasional Inggris mengatakan sementara bahwa Inggris akan menyediakan 2 juta poundsterling untuk bantuan dan bekerja melalui Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) untuk menyewa sebuah kapal untuk mengeluarkan pekerja Mesir dan Bangladesh dari Misurata.
Komentara Mitchell datang di New York, di mana ia membahas rencana dengan kepala badan PBB.
Berbicara dengan BBC, ia mengatakan : “Posisi di Misurata semakin tajam dan memburuk dalam beberapa hari terakhir, berarti bahwa sekitar 5.000 pekerja asing terkepung di dermaga…kita akan memindahkan semuanya keluar segera semampu kami melalui laut.”
Reporter Al Jazeera berhasil mencapai Misurata dengan sebuah kapal bantuan dan menemukan kehidupan di kota tersebut yang telah hancur dan terus berada di bawah ancaman bom. Kekurangan makanan, air, bahan bakar dan listrik menjadi masalah utama di sana.
Setidaknya 20 orang tewas saat mereka mengantri untuk mendapatkan roti dan tembakan roket Grad menghantam mereka. Banyak penduduk yang berlindung dan mengungsi di masjid-masjid dan sekolaj.
“Tidak ada tempat aman di sini,” ujar seorang perempuan dari Sudan seperti yang dilansir Al Jazeera.
Banyak imigran asal Afrika yang hidup di tenda-tenda di jalan luar pelabuhan menunggu penyelamatan selama berminggu-minggu.
“Saat ini kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kita takut akan mati di sini,” ujar Ghanaian Kusi thomas. (haninmazaya/arrahmah.com)