YERUSSALEM (Arrahmah.com) – Kelompok pejuang Palestina Hamas, Sabtu (11/1/2014), menggambarkan kematian mantan perdana menteri “Israel” Ariel Sharon sebagai “pelajaran bagi semua tiran”.
“Kematiannya setelah mengalami koma selama delapan tahun merupakan pelajaran bagi semua tiran,” kata juru bicara Hamas Sami Abu Zuhri kepada Anadolu Agency.
Abu Zuhri mengatakan bahwa rakyat Palestina berada dalam momen bersejarah setelah kematian kriminal yang tangannya ternoda oleh darah Palestina.
Sharon pernah bertugas dalam perang untuk pembentukan “Israel” pada tahun 1948 sebagai seorang perwira dan komandan. Menyusul dimulainya negara Yahudi, ia kemudian menduduki berbagai jabatan di kabinet “Israel”. Selama perannya di militer, dia bertanggungjawab terhadap kematian rakyat Palestina.
Ariel Sharon lahir pada tahun 1928 di permukiman Yahudi Kfar Malal, Palestina dengan nama Ariel Scheinermann. Sharon lahir ketika ayahnya masih kuliah di bidang agronomi di Universitas Tbilisi, Georgia, sementara ibunya dalam bidang kedokteran.
Sejak muda, Sharon sudah terlibat dalam gerakan Zionis, tepatnya ketika berusia 10 tahun. Organisasi itu bernama Hassadeh. Pada usia 14 tahun, Sharon masuk Gadna, batalion separuh militer, kemudian Haganah, pasukan militer bawah tanah Yahudi.
Ketika negara Israel dibentuk, Sharon dilantik menjadi komandan pleton brigade Alexandroni. Pada 1949, Sharon dinaikkan pangkat menjadi komandan Brigade Golani dan tahun berikutnya, menjadi pejabat di Central Command, seterusnya Ketua Unit 101, yaitu Unit Khusus pertama tentara Israel (1951).
Di bawah pimpinannya, Unit 101 melancarkan serangan yang tidak putus-putusnya terhadap Palestina dan negara-negara Arab lain. Unit 101 menjadi dalang operasi Qibya pada musim gugur tahun 1953 yang menyebabkan 69 orang penduduk Palestina meninggal dunia, termasuk anak-anak.
Bagi orang Yahudi “Israel” Sharon dianggap sebagai “pahlawan nasional”, sementara yang lain melihatnya sebagai penghalang besar dalam proses perdamaian, dan penjahat perang dalam invasi militer Israel ke Libanon selatan pada tahun 1982.
Bagi jutaan orang Arab dan Palestina, Sharon adalah seorang “pembunuh massal”, yang memicu intifadah Palestina kedua pada tahun 2000 oleh kunjungan provokatifnya ke Al-Aqsa, tempat suci ketiga paling suci Islam, dengan kawalan tentara bersenjata “Israel”.
Sharon telah dalam kondisi cacat permanen karena menderita stroke pada 4 Januari 2006. Stroke yang disebabkan oleh pendarahan otak yang parah yang menyebabkan dia kehilangan kesadaran.
Pada tahun 2008, dokter menjelaskan dalam sebuah wawancara dengan radio militer, (Galei Tzahal) bahwa ia dalam keadaan “kesadaran minimal” di mana ia merasa sakit dan mampu merespon ketika mendengar suara saudaranya, namun ia masih dalam kondisi serius, tanpa ada perbaikan yang signifikan dalam kesehatan sejak dipindahkan ke rumah sakit.
Sharon, (85), meninggal pada hari Sabtu, setelah menjalani masa koma terpanjang dalam sejarah yaitu delapan tahun sejak tahun 2006.
Sharon dituduh bertanggung jawab untuk berbagai kejahatan, termasuk tragedi Qibya 1953, Pembunuhan dan penyiksaan terhadap para tahanan Mesir pada tahun 1967, Invasi Beirut pada tahun 1982, Pembantaian Sabra dan Shatila pada tahun 1982, dan Pembantaian kota Jenin pada tahun 2002.
Kisah Ariel Sharon sang penjahat perang menjadi pelajaran berharga bagi para tiran untuk tidak membuat kesewenang-wenangan di muka bumi. (ameera/arrahmah.com)