JAKARTA (Arrahmah.com) – Informasi terkini sangat dibutuhkan keluarga pekerja migran, apalagi jika anggota keluarga mereka yang bekerja di luar negeri sedang terjerat kasus atau tertimpa musibah. Itulah yang diharapkan Sumi, ibu dari Warnah Binti Warta Niing, pekerja migran asal Karawang yang bekerja di Arab Saudi. Sumi menceritakan ketika Warnah bekerja di Arab Saudi pada tahun 2004, mengabarkan kalau kondisinya baik-baik saja. Tapi, beberapa tahun kemudian, Warnah tidak dapat kembali ke tanah air dan di penjara karena dituduh melakukan sihir.
Mendengar cerita anaknya itu, Sumi mengaku kebingungan dan menemui pihak sponsor serta PJTKI yang memberangkatkan Warnah ke Arab Saudi. Dengan penuh harapan, Sumi meminta kedua pihak itu untuk membantu Warnah. Sayangnya, pihak PJTKI hanya menjanjikan kalau kasus Sumi sedang mereka selesaikan. Selama dua tahun sejak pengaduan itu, Sumi tidak mendapat informasi sebagaimana diharapkan. Ujungnya, Sumi meminta bantuan Ketua Solidaritas Buruh Migran Karawang (SBMK), Dadang Muchtar. Kemudian, mereka menyambangi Kementerian Luar Negeri (Kemlu) di Jakarta untuk mengadukan kasus yang menimpa Warnah.
Sayangnya, pihak Kemlu tidak memberi jawaban yang memuaskan karena Sumi hanya disarankan untuk bersabar. Tak menyerah, dengan didampingi Dadang, Sumi menyambangi lembaga lainnya, salah satunya Satgas TKI. Namun, lagi-lagi Sumi harus kecewa mendengar pernyataan Satgas TKI karena mengimbau dirinya untuk sabar. “Sampai sekarang tidak ada kejelasan (perkembangan kasus Warnah,-red), ini kesabaran saya sudah habis,” keluhnya dalam jumpa pers di kantor Solidaritas Perempuan di Jakarta, Rabu (18/9).
Sumi mendesak agar pemerintah segera membantu menuntaskan kasus yang dihadapi Warnah. Bahkan, ia berniat untuk mengadukan hal itu secara langsung kepada Presiden SBY karena aparatur pemerintahan yang mengurusi pekerja migran tidak jelas tindaklanjutnya. “Saya mau anak saya cepat-cepat dibebaskan, dipulangkan dan selamat sampai di rumah,” harapnya.
Pada kesempatan yang sama Ketua SBMK, Dadang Muchtar, mengatakan tak terhitung jumlahnya keluarga pekerja migran yang bernasib sama seperti Sumi. Dimana mereka kebingungan meminta pertolongan dan mencari informasi tentang nasib anak mereka yang menjadi pekerja migran di luar negeri. Walau sudah menyambangi pihak terkait seperti PJTKI, kementerian dan lembaga pemerintahan lainnya, jawaban yang disampaikan tidak memberikan solusi.
Saat mendampingi Sumi ke berbagai lembaga pemerintahan, Dadang mengaku bingung mendengar aparatur pemerintahan yang mengurusi pekerja migran mengatakan tidak punya informasi yang dibutuhkan. Padahal, tempat tinggal keluarga pekerja migran dengan kantor lembaga pemerintahan di Jakarta seperti Kemlu jaraknya cukup jauh. Sehingga menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Namun, perjuangan keluarga pekerja migran untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan itu tidak disambut baik oleh lembaga pemerintahan yang bersangkutan.
Dadang mengatakan keluarga pekerja migran hanya kebanyakan hanya disuruh menunggu, bersabar dan berdoa. “Kami disuruh berdoa biar Warnah cepat pulang. Kalau berdoa itu jelas tapi apa itu cukup, dan sampai sekarang tidak pernah ada informasi lanjutan dari pemerintah,” ujarnya.
Menanggapi hal itu pengacara Solidaritas Perempuan yang kerap mendampingi pekerja migran dan keluarganya, Ummi Habsyah, mengatakan Solidaritas Perempuan sudah melaporkan lebih dari dari 70 kasus pekerja migran dari tahun 2011-2013 kepada pemerintah. Dari jumlah itu sejumlah kasus diantaranya berkaitan dengan keluarga pekerja migran yang tidak mendapat informasi dari pemerintah. Untuk kasus Warnah, Ummi mengatakan pihak Kemlu terakhir kali memberikan informasi kepada keluarga pekerja migran dan pendampingnya pada akhir tahun lalu. Namun sejak saat itu Kemlu belum memberikan informasi lanjutan sampai sekarang.
Menurut Ummi, minimnya informasi yang diterima keluarga pekerja migran karena pemerintah kurang responsif menjalankan tugasnya memberi perlindungan untuk pekerja migran. Padahal, petinggi Kemlu menyatakan ada standar operasional pelayanan dalam penanganan kasus yang menegaskan bahwa setiap perkembangannya harus segera diinformasikan kepada keluarga atau pendamping. Ironisnya, hal tersebut tidak berjalan. “Kami mendesak Kemlu untuk membenahi sistem itu sesuai kewenangan yang mereka miliki,” tandasnya.
Sementara Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy, mengatakan keterbatasan informasi yang diberikan pemerintah kepada keluarga pekerja migran merupakan segelintir dari masalah pekerja migran yang belum terselesaikan. Padahal, konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Keluarganya sudah diratifikasi tahun lalu menjamin hak atas informasi. Tentu saja bagi pekerja migran dan keluarganya. Namun, ada persoalan internal di lembaga pemerintahan yang membuat keluarga pekerja migran kesulitan mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Atas dasar itu Dewy menilai hak atas informasi harus dibenahi secara komprehensif dan wajib dimasukan dalam RUU PPILN yang sekarang dibahas DPR. Sayangnya, dalam RUU PPILN tidak memuat konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Keluarganya itu sebagai acuan. Akibatnya, ketentuan yang dirancang dalam RUU PPILN tidak merujuk konvensi tersebut. Khususnya, berkaitan dengan hak atas informasi yang responsif, transparan dan mudah diakses pekerja migran dan keluarganya.
Minimnya informasi yang dimiliki pemerintah atas kondisi pekerja migran menurut Dewy tak lepas dari keterbatasan data. Sehingga, pemerintah kesulitan mencari jejak pekerja migran yang tersangkut masalah. Baginya, hal itu disebabkan oleh pengelolaan pekerja migran yang diserahkan kepada swasta. Akibatnya, data pekerja migran cenderung dimiliki oleh PJTKI ketimbang pemerintah. “Harusnya itu tangungjawab negara, bukan malah dilemparkan ke swasta,” urainya.
Namun yang jelas, keluarga pekerja migran sangat membutuhkan keterangan resmi dari pemerintah, sejauh mana kondisi anggota keluarga mereka yang bekerja di luar negeri. Informasi itu menurut Dewy penting guna mencegah agar kasus yang menimpa pekerja migran tidak bertambah parah. “Kalau informasi itu cepat diberikan maka dapat dilakukan pencegahan agar kasus tidak memburuk. Jadi sejauh apa prosesnya, bagaimana tindakan pemerintah, dapat dipantau dan diketahui keluarga pekerja migran,” tukasnya.
(azmuttaqin/ho/arrahmah.com)