Ummu Samiha adalah seorang pengungsi Suriah. Ia menjelaskan bahwa pemboman udara dan mortir telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para pengungsi Suriah.
Setiap kali mendengar deru jet tempur dari jauh, ia akan menyambar anak-anaknya, berlari dan bersembunyi di bunker darurat bawah tanah.
Selalu ada suara helikopter di desa mereka. Ketika satu helikopter terbang menjauh, datang helikopter yang lainnya. Mereka pun bersembunyi di bawah tanah. Kehidupan seperti itulah yang mereka jalani selama setahun penuh.
Tak ada listrik, dan air menjadi barang langka. Mereka berhasil melewati hari-hari mereka dengan makanan kecil yang mereka miliki. Suami Ummu Samiha pergi ke luar setiap hari, mencari barang dagangan. Uang yang dia hasilkan digunakan untuk membeli makanan bagi keluarganya.
Hingga pada suatu hari, saat Abu Samila itu pergi keluar dengan motornya untuk membeli sayuran di pasar, sebuah rudal mendarat di dekatnya, melukai dia. Dia menderita luka pecahan peluru di dadanya.
“Kami berjuang untuk membawanya ke klinik dan dia meninggal pada hari berikutnya. Alhamdulillah, suami saya telah menjadi seorang syuhada,” tutur Ummu Samiha mengenang saat-saat di mana ia harus mengikhlaskan kepergian suaminya.
Saat situasi di Kafr Sajnah menjadi semakin parah, ujian demi ujian terus dihadapi oleh Ummu Samiha. Setelah suaminya syahid, InsyaAllah, putrinya, Faryal (3) juga terbunuh karena terkena tembakan roket. Dan tak lama setelah itu, Ummu Samiha pun melahirkan putranya, Mustafa, akan tetapi dia juga meninggal dunia empat puluh hari kemudian. Bagaimanapun, ia tetap tegar mensyukuri kesyahidan anak-anaknya. “Alhamdulillah,” ungkapnya.
Akhirnya ia merasa tidak bisa lagi bertahan di Kafr Sajnah, jadi ia memutuskan untuk pindah, beserta ketiga anaknya, Samiha (6), Rima (5), dan Yasmin (2), ke rumah orang tuanya di Jarjanaz – sekitar 45km selatan Idlib.
Sebagian besar keluarganya telah mengungsi ke Libanon. Sementara ia tidak bisa masuk ke sana karena anak-anaknya tidak terdaftar dalam kartu keluarga dan ia belum mengurusnya.
Situasi di Jarjanaz pun tak jauh berbeda, namun di sanalah ia kemudian mendengar tentang sebuah kamp bagi para keluarga syuhada di Samarda.
Ia dan anak-anaknya tidak mempunyai apa-apa. Hanya dengan pakaian seadanya, mereka tiba di kamp pengungsi Ummah Welfare Trust (UWT) di Samarda, Suriah. “Saya berharap saya bisa membeli mainan untuk anak-anak saya. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada mereka ketika mereka meminta sesuatu. Saya bahkan tidak memiliki satu lira pun,” ungkapnya.
Sebelum tiba di kamp UWT tersebut, mereka harus tinggal di bawah tanah di Kafr Sajnah, karena sebagian besar bangunan telah hancur. Karenanya, sekarang Ummu Samiha tak henti bersyukur kepada Allah, sebab sekarang ia beserta anak-anaknya bisa kembali tinggal di atas tanah.
“Sepanjang waktu [dulu] kami berada di bawah tanah, harapan anak-anak saya hanyalah agar bisa tidur di atas tanah. Saya bersyukur kepada Allah bahwa kami sekarang [bisa] berada di atas tanah [lagi],” ujarnya.
(banan/arrahmah.com)