BAGHDAD (Arrahmah.com) – Keluarga warga sipil Irak yang ditembak dan dibunuh oleh pasukan AS dalam sebuah video yang dibocorkan WikiLeaks, mencari keadilan bagi kematian anggota keluarga mereka.
Awal pekan ini Wikileaks, sebuah situs yang mempublikasikan video-video dari sumber yang dirahasiakan, merilis sebuah video yang menunjukkan bagaimana militer Amerika Serikat melakukan penembakan sejumlah warga sipil di Baghdad tiga tahun lalu.
Penembakan itu menewaskan 12 orang, termasuk dua pegawai kantor berita Reuters.
Pentagon mengatakan tidak punya alasan untuk meragukan keaslian rekaman itu, tetapi mengklaim bahwa pihaknya telah melakukan dua penyelidikan terhadap insiden dan telah memecat tentara yang melakukan kesalahan tersebut.
Tapi keluarga korban mengatakan pada Al JAzeera mereka ingin personil militer yang bertanggung jawab atas kematian itu dibawa ke pengadilan.
Dua anak muda yang ayahnya tewas dalam serangan itu merasa sama sekali tidak habis pikir mengapa mereka saat itu menjadi sasaran.
“Kami kembali dan kami melihat seorang yang terluka. Ayah berkata: “Mari kita bawa dia ke rumah sakit.. Lalu saya mendengar suara tembakan … Mengapa mereka menembak kami? Tidakkah mereka melihat bahwa kami masih anak-anak?” kata Sajad Mutashar, yang terluka bersama dengan adiknya.
Pamannya, Satar, menuntut pilot helikopter AS diseret ke pengadilan.
“Tidak ada satu orang pun yang peduli pada anak-anak itu, hak-hak mereka hilang dan bahkan Amerika tidak memberikan kompensasi untuk memperbaiki mobil yang hancur. Saya menjualnya seharga $ 500 untuk biaya perawatan anak-anak,” kata Satar.
Sementara itu, pasukan AS mengklaim telah resmi memberikan pembayaran untuk keluarga korban.
Keluarga Saeed Chamgh, salah satu karyawan Reuters tewas dalam serangan itu, juga menuntut keadilan atas kematian anggota keluarganya.
“Pilot itu bukan manusia, dia seorang monster. Apa yang telah saudara saya lakukan? Apa yang telah dilakukan anak-anaknya? Apakah pilot itu bisa menerima jika anak-anaknya menjadi yatim piatu?” Safa Chmagh, saudara Saeed, mengatakan.
Salwan Saeed bin Saeed, putra Saeed Chamgh, berkata: “Saya tidak akan membiarkan orang Amerika itu lolos begitu saja.
“Aku akan melanjutkan ayah dan akan memegang kamera lainnya.”
Menurut penyelidikan Pentagon mengenai permasalahan ini, awak helikopter melihat bahwa orang-orang yang terlihat dalam video itu adalah pejuang anti-pemerintah.
Tapi Mark Taylor seorang ahli hukum internasional dan direktur di Institut Studi Internasional Fafo di Norwegia, mengatakan kepada Al Jazeera bukti sejauh ini menunjukkan bahwa kasus ini merupakan bukti bahwa militer AS melakukan kejahatan perang. (althaf/alj/arrahmah.com)