WASHINGTON (Arrahmah.com) – Dua puluh empat kelompok Yahudi yang mencakup semua aliran keagamaan utama mendesak sebuah panel Senat AS untuk memajukan sebuah undang-undang yang akan menghukum Myanmar karena perlakuannya terhadap minoritas Muslim Rohingya, JTA melansir pada Ahad (7/1/2018).
“Meloloskan undang-undang ini melalui komite dan Senat penuh akan mengirim pesan yang kuat kepada militer Burma (Myanmar) dan masyarakat global bahwa Amerika Serikat tidak akan tinggal diam atau tidak aktif dalam menghadapi kekejaman massa,” klaim surat yang dikirim pada Jum’at ke Senator Bob Corker, R-Tenn, dan Ben Cardin, D-Md.
Masing-masing merupakan anggota Partai Republik dan Demokrat di Komite Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat.
Di antara kelompok yang menandatangani usulan tersebut adalah Reformasi, Konservatif, Ortodoks dan Rekonstruksionis serta kelompok hak-hak sipil termasuk Komite Yahudi Amerika dan Liga Anti-Fitnah. Penanda tangan juga adalah Dewan Yahudi untuk Urusan Publik, organisasi yang didukung oleh konsensus bagi kelompok kebijakan publik Yahudi.
RUU, seperti yang dijelaskan dalam surat tersebut, “akan mengamanatkan sanksi AS yang ditargetkan untuk membantu mengakhiri kekejaman militer Burma (Myanmar) terhadap orang-orang Rohingya, memberikan bantuan bagi pengungsi Rohingya, dan membentuk sebuah mekanisme untuk menangani pertanggungjawaban seputar kejahatan yang dilakukan terhadap Rohingya dan etnis minoritas lainnya di Burma.”
Cardin, yang beragama Yahudi, telah mengatakan kepada wartawan dalam beberapa hari ini bahwa dia yakin RUU tersebut akan segera berlanjut.
“Kami tidak bisa tetap diam sebagai orang Yahudi, dimana kata-kata ‘jangan ada lagi’ mengharuskan kami untuk bertindak, atau sebagai warga global, dalam menghadapi tindakan brutal yang tidak masuk akal tersebut,” kata surat itu.
Myanmar, telah dikenal oleh dunia internasional berupaya melakukan pembersihan etnis Rohingya dari negaranya. Ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri dari negara tersebut sejak Agustus diyakini merupakan krisis pengungsi dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Sementara itu, negara mayoritas Buddha tersebut mencari pembenaran atas tindakannya dengan mengklaim bahwa aksi militer yang dilakukannya hanya menargetkan ‘militan’. (althaf/arrahmah.com)