Di kota terbesar Suriah, Aleppo, Mujahidin selaras dengan Al-Qaeda, menjalankan toko-toko roti dan memimpin pengadilan yang memberlakukan hukum Islam. Di tempat lain, mereka telah menyita ladang minyak pemerintah, memerintahkan karyawan untuk kembali bekerja dan mendapat keuntungan dari minyak mentah yang mereka hasilkan.
Di Suriah, wilayah yang dikuasai oleh Mujahidin dihiasi dengan pengadilan Islam yang dikelola oleh pengacara Muslim dan ulama dan para pejuang terlihat berlalu lalang di jalan-jalan kota. Bahkan, Dewan Militer yang diciptakan oleh formasi Barat sepertinya tidak akan mampu mengesampingkan kelompok-kelompok Islam yang penuh dengan komandan yang sangat ingin menerapkan hukum Islam secara menyeluruh untuk Suriah di masa depan.
Tidak ditemukan di wilayah yang dikuasai Mujahidin apakah ada kekuatan tempur sekuler.
Di antara kelompok yang paling dikenal adalah kelompok Jabhah an-Nushrah, sekutu Al Qaeda yang dinyatakan sebagai organisasi “teroris” oleh Amerika Serikat, namun kelompok-kelompok lain juga berbagi aspek ideologi Islam di berbagai tingkatan.
“Beberapa oposisi ‘ekstrim’ sangat menakutkan dari perspektif Amerika dan mereka menyajikan kepada kita dengan segala macam masalah,” ujar Ari Ratner, seorang anggota di Proyek Keamanan Nasional Truman dan mantan penasehat Timur Tengah untuk Departemen Luar Negeri.
“Kami tidak memiliki ilusi tentang prospek terlibat dengan rezim Assad, tapi kami juga sangat segan untuk mendukung pmeberontak garis keras.”
Pejabat Suriah mengakui bahwa Amerika Serikat khawatir mereka memiliki sedikit sekutu dalam oposisi bersenjata dan telah mencoba untuk mengeksploitasi hal itu dengan kampanye publik untuk membujuk, menakut-nakuti. Pada setiap kesempatan mereka mempromosikan gagasan bahwa alternatif bagi Assad adalah negara Islam “ekstrimis”.
Karakter Islam dalam tubuh oposisi mencerminkan konstituen utama dari pemberontakan yang telah memimpin sejak awal revolusi Suriah. Mengusung agenda keagamaan, membedakan mereka dari banyak aktivis sipil, pengunjuk rasa dan relawan yang berharap bahwa pemberontakan akan menciptakan Suriah yang demokratis.
“saya rasa tidak ada sekuler,” ujar elizabeth O’Bagy, dari Institut untuk Studi Perang, yang telah beberapa kali melakukan perjalanan ke Suriah dalam beberapa bulan terakhir untuk mewawancarai komandan pemberontak.
Sebagian besar perhatian Amerika serikat adalah Front an-nushrah yang pemimpinnya baru-baru ini menegaskan kesetiaannya kepada Al Qaeda. An-nushrah juga merupakan kelompok pilihan untuk sejumlah Jihadis asing yang mengalir ke Suriah.
Kelompok lain yang juga menonjol adalah Ahrar al-sham, memiliki ideologi yang sama dengan An-nushrah, namun sebagian besar jajarannya terdiri dari warga Suriah asli.
Dua kelompok yang paling aktif di utara dan timur dan secara luas dihotmati di kalangan pemberontak lainnya karena kemampuan tempur mereka dan banyaknya senjata mereka. Dan keduanya berhasil menduduki banyak basis militer rezim, bendungan di Sungai Eufrat dan ibukota provinsi Raqqa di bulan Maret, satu-satunya ibukota provinsi yang sepenuhnya dikendalikan oleh Mujahidin.
Saat pengaruh Mujahidin meningkat di jajaran pejuang oposisi Suriah, Amerika Serikat berusaha membatasi pengaruh mereka, pertama dengan menunjuk kelompok an-Nushrah sebagai organisasi “teroris” dan kemudian mendorong untuk membentu Dewan Militer sebagai sayap militer utama Koalisi Nasional Suriah yang diciptakan Barat.
Pemerintah Obama mengatakan pihaknya masih membutuhkan banyak informasi yang lebih konklusif sebelum bertindak, berdasarkan laporan penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Suriah. Masih belum jelas apakah tindakan tersebut akan diterjemahkan sebagai peningkatan dukungan untuk pemberontak.
Diambil dari : The New York times
(haninmazaya/arrahmah.com)