(Arrahmah.com) – Sebuah hukum baru yang ditetapkan pemerintah Myanmar telah memaksa sebagian wanita di Myanmar untuk memiliki anak dalam jangka tiga tahun terpisah telah memicu kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi manusia, menganggap hal itu akan digunakan untuk menargetkan minoritas Muslim di negara tersebut.
Presiden Myanmar Thein Sein telah menandatangani RUU kontrol kesehatan populasi menjadi undang-undang pada pekan lalu, menurut laporan media pemerintah Myanmar pada Sabtu pekan lalu, sebagaimana dilansir World Bulletin pada Senin (25/5/2015).
Udang-undang itu didukung oleh kelompok Buddhis ultra-nasionalis, Komite untuk Perlindungan Kebangsaan dan Agama, yang disebut dengan Ma Ba Tha.
Kelompok tersebut telah menunjukkan sentimen anti-Muslimnya dengan mengatakan bahwa masyarakat Muslim memiliki tingkat kelahiran yang tinggi dan itu akan membanjiri negara mayoritas pemeluk Buddha.
“Hukum ini menargetkan satu agama, satu populasi, di satu daerah,” kata Khin Lay, pendiri grup Triangle Women Support, yang memberikan pelatihan perempuan profesional dan politik dan melobi untuk menentang hukum tersebut.
Pemerintah Myanmar membantah mendiskriminasi Muslim, mengatakan bahwa undang-undang kelahiran baru ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan kesejahteraan anak.
Belum jelas bagaimana undang-undang baru yang melarang melahirkan dalam periode tiga tahun tersebut akan diberlakukan.
PBB telah meminta Myanmar untuk mengatasi diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya. Mereka mengatakan bahwa kebijakan pemerintah Myanmar terhadap minoritas Rohingya adalah penyebab utama migrasi massal yang menyebabkan krisis kemanusiaan di perairan Asia Selatan, dimana ribuan Muslim Rohingya terpaksa mengarungi laut demi mencari tempat yang aman bagi nyawa mereka.Muslim Rohingya di Myanmar telah ditolak kewarganegaraannya oleh pemerintah mereka sendiri. Hidup tanpa negara dan terdiskriminasi karena agama dan ras, mereka terusir dari negeri sendiri.Kelompok hak asasi menilai bahwa undang-undang baru ini hanya akan memperburuk hubungan antara masyarakat Buddhis dan Muslim di Rakhine (Arakan). (siraaj/arrahmah.com)