MADAYA (Arrahmah.com) – Es kini menyelimuti kota Madaya, Suriah. Tak luput pengepungan dan kelaparan menggerogoti kehidupan yang tersisa di sini. Bantuan datang sepintas, bersama dengan perhatian dunia. Namun kini bantuan telah pergi, dan para warga masih menderita.
Dr. Mohammed memperlihatkan seorang kakek tua berusia 50 tahun, Fawaz Saeef Aldin, yang terkena malnutrisi. Tubuh Fawaz kurus kering dan tidak bisa menerima makanan, hanya cairan. Ia tertahan di Madaya, hampir seperti tengkorak, hampir mati.
Cucu perempuan Fawaz, Lamar, yang baru berusia sembilan bulan terlihat sangat kurus dan lemah.
Selama lebih dari tujuh bulan, warga Madaya tidak memiliki listrik, jelas dokter. Mereka hampir kehabisan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh, kini plastik kerap dibakar sebagai pengganti kayu bakar.
Di tempat lain, seorang aktivis bernama Abdullah memperlihatkan seorang bocah yang jatuh sakit karena memakan daun. Bocah malang tersebut seharusnya dibawa secepatnya ke luar Madaya.
Makanan yang sedikit di rumah sakit tak bisa menyelamatkan malnutrisi akut ini, yang sangat membutuhkan bantuan medis, namun hal itu ditangani lambat.
Jika mereka tak membawa makanan bagi warga, warga di Madaya akan mati kelaparan, Abdullah mengatakan.
Rumah sakit darurat berjuang mempertahankan harapan untuk para warga yang berharap menemukan bantuan.
Sepuluh hari belakangan sejak sokongan bantuan tiba ada sepuluh orang mati kelaparan, sejumlah orang tiba di klinik tak sadarkan diri, ada sekitar 500 orang sakit di kota yang membutuhkan pengobatan rumah sakit, ujar salah seorang dokter di rumah sakit darurat.
Oposisi Suriah mengatkan mereka tak akan membahas perundingan damai hingga pengepungan seperti ini oleh pemerintah rezim Bashar Asad diangkat.
Kelaparan merupakan senjata perang, meninggalkan 400.000 warga Suriah tanpa makanan yang mereka butuhkan, membuat mereka tidak benar-benar hidup tidak juga mati. (fath/cnn/arrahmah.com)