Bagi perempuan Palestina di Jalur Gaza yang terkepung, tragedi perang genosida ‘Israel’ yang tampaknya tak berkesudahan dan telah menewaskan atau melukai hampir 200.000 orang juga telah memengaruhi aspek lain kehidupan pribadi mereka.
Lebih dari setahun sejak ‘Israel’ melancarkan perang di daerah kantong pantai itu, para wanita Palestina di Gaza kehilangan privasi mereka karena mereka dipaksa tinggal di tenda-tenda bobrok yang tidak melindungi mereka dari musim panas yang keras atau musim dingin yang dingin.
Berbicara kepada The New Arab, sejumlah perempuan Palestina yang tinggal di Gaza berbicara tentang tantangan yang timbul akibat kurangnya semua persyaratan untuk kehidupan yang layak. Penghancuran dan pembunuhan oleh ‘Israel’ tidak hanya memperburuk beban mereka, para perempuan tersebut juga harus berjuang melawan kurangnya kebutuhan dasar, seperti produk kebersihan dan bahkan pakaian seperti pakaian dalam.
Selain melancarkan perang, tentara ‘Israel’ juga telah menutup seluruh perbatasan Gaza, mencegah dan membatasi produk komersial dan bantuan kemanusiaan memasuki Gaza, rumah bagi lebih dari 2,3 juta orang.
Beralih ke pakaian musim panas untuk musim dingin
Untuk tahun kedua berturut-turut, wanita Palestina terpaksa menghadapi musim dingin dengan pakaian musim panas.
“Sayangnya, kami membuang semua pakaian kami ketika kami dipaksa mengungsi dan meninggalkan rumah kami,” kata Huda Naim, seorang wanita Palestina yang mengungsi ke Khan Yunis, kepada TNA.
Ibu empat anak berusia 42 tahun ini meninggalkan rumahnya yang terletak di Beit Hanoun di utara Gaza setahun yang lalu, dan ia telah mengungsi dari satu tempat ke tempat lain untuk menghindari serangan ‘Israel’. Saat ini, ia tinggal bersama keluarganya di tenda sementara yang didirikan di daerah Mawasi, Khan Yunis, dekat pantai.
“Hari demi hari, cuaca semakin dingin, dan saya tidak punya cukup pakaian untuk setidaknya menghangatkan diri,” kata wanita paruh baya itu. “Kami meninggalkan rumah tanpa bisa membawa barang-barang pribadi. Saya pikir kami hanya akan keluar selama beberapa jam lalu kembali, yang membuat saya tidak bisa membawa apa pun kecuali dokumen identitas.”
“Tetapi saya mendapati bahwa migrasi yang kami lakukan tak tampak akan berakhir, dan saya tidak tahu apakah kami akan kembali ke rumah kami lagi,” katanya, tangannya gemetar karena kedinginan.
“Saya sudah memakai baju shalat selama lebih dari setahun dan saya punya satu lagi. Namun, kedua baju itu sudah usang, dan saya tidak tahu harus berbuat apa jika tidak bisa dipakai lagi. Tidak ada baju di pasaran dengan harga yang pantas, dan saya tidak punya cukup uang untuk membelinya. Anak-anak saya layak mendapatkan lebih banyak uang daripada saya untuk membelikan mereka makanan,” tambahnya.
Sanaa Nasser, seorang perempuan Palestina yang terusir dari kamp pengungsi Nuseirat di Gaza bagian tengah, yang kini tinggal di salah satu tenda Mawasi di Khan Yunis setelah tentara ‘Israel’ mengebom rumahnya, juga kesulitan mendapatkan pakaian yang layak. Ibu lima anak berusia 35 tahun ini mengenakan mukenanya sepanjang waktu, meskipun mukena itu tidak membuatnya tetap hangat.
“Karena perang, kami kehilangan segalanya. Pada musim dingin sebelumnya, kami biasa membeli semua yang kami butuhkan dan mengikuti mode, tetapi sekarang kami telah menjadi wanita tunawisma yang tidak berdaya dan tidak tahu bagaimana menghadapi musim dingin,” katanya kepada TNA, pakaiannya terlihat usang dan robek.
“Daripada membeli baju baru, saya malah menjahit dan memperbaikinya, tetapi sekarang baju-baju itu bahkan sudah tidak layak lagi untuk dijahit,” tambahnya.
“Selama beberapa bulan terakhir, sejumlah wanita mengenakan jilbab yang sama,” cuit Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini di X terkait isu ini.
Tentara ‘Israel’ mengenakan pakaian wanita
Sejak dimulainya invasi darat tentara ‘Israel’ ke Jalur Gaza, tentara ‘Israel’ sering berbagi foto di media sosial yang memperlihatkan diri mereka mengenakan pakaian wanita di rumah-rumah Palestina.
Pakaian dalam, pakaian musim dingin, dan pakaian tradisional rakyat termasuk di antara pakaian yang dikenakan oleh tentara ‘Israel’ dalam sebuah adegan yang memancing kemarahan warga Palestina secara umum, dan khususnya, kaum wanita.
Hind, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan kepada TNA bahwa dia lebih memilih mati daripada melihat pakaiannya dikenakan oleh tentara ‘Israel’.
“Saya meninggalkan lemari saya penuh dengan pakaian sementara saya tidak bisa mendapatkannya kembali untuk dipakai sekarang, saya juga tidak bisa menyediakan pakaian untuk anak-anak saya yang menggigil kedinginan sepanjang hari,” katanya.
“[Tentara Israel] benar-benar membuat saya marah ketika saya melihat mereka menarik pakaian saya dan mengolok-olok kami sementara saya menderita flu parah karena saya tidak punya pakaian,” tambah Hind.
Sebelum invasi ‘Israel’, sekitar 500 truk memasuki Gaza setiap hari membawa berbagai impor komersial, seperti makanan, bahan bangunan, perlengkapan pertanian, dan bantuan kemanusiaan yang diawasi oleh organisasi PBB.
Namun, sejak agresi, ‘Israel’ telah sepenuhnya melarang impor barang dan pasokan kemanusiaan, hanya menyisakan beberapa truk yang membawa sejumlah kecil makanan untuk dilewati, yang tidak memenuhi kebutuhan penduduk Gaza. (zarahamala/arrahmah.id)