GAZA (Arrahmah.com) – Feriel al-Zaaneen belum sempat mandi selama lebih dari sebulan. Seperti halnya ribuan orang Palestina lainnya, dia tidak memiliki air yang cukup untuk mandi. Kekeringan ini menambah penderitaan hidup warga Gaza ditengah perang yang menghancurkan.
Dalam kondisi musim panas yang menyengat, dimana suhu udara bisa mencapai 93 Fahrenheit, Feriel merupakan salah satu dari sekitar 218.000 pengungsi yang berlindung di 87 sekolah yang dikelola PBB dari konflik yang telah menewaskan sedikitnya 1.980 warga Palestina sejak 8 Juli.
“Tidak ada air di sini dan toilet sangat kotor, tidak ada jenis kehidupan yang seperti ini,” katanya.
Zaaneen, anak-anak dan cucu-cucunya, yang berjumlah sekitar 50 orang, meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri dari pemboman “Israel”.
Dia mengatakan bahwa mereka harus berjuang setiap hari untuk mendapatkan air, sumber yang sangat berharga di daerah kantong Palestina yang telah berada di bawah blokade “Israel” sejak tahun 2006.
PBB mengatakan bahwa 365.000 orang Palestina masih mengungsi di Gaza, Faten al-Masri, (37), harus membasuh anak-anaknya dengan air minum mineral.
Saat ia menyiramkan air dingin ke tubuh anak perempuannya yang baru berusia dua tahun, anak itu berteriak. Pada sekujur tubuh anak itu terdapat bercak-bercak merah.
“Semua anak saya jatuh sakit di sini karena debu dan kurangnya kebersihan, mereka semua terkena infeksi kulit dan korengan,” kata Faten.
“Tidak ada air di kamar mandi, dan begitu kotor, bahkan kami tidak bisa masuk ke dalam,” katanya.
“Saya memandikan anak-anak saya setiap tiga hari di sini di dalam ruang kelas dengan air botol.”
Tidak ada privasi
Faten sendiri belum mandi sejak tiba di sekolah itu dua minggu yang lalu.
“Beberapa orang menggunakan air botol [untuk mandi] di dalam ruang kelas, tapi saya tidak bisa melakukannya. Ini akan terasa seperti saya sedang mandi di jalan jika saya melakukannya. Siapa pun bisa membuka pintu dan masuk. Tidak ada privasi , “katanya.
“Saya merasa ini benar-benar buruk. Tidak bisa mandi membuat saya merasa tidak nyaman dan gelisah,” katanya.
Muntaha al-Kafarna, seorang ibu dari sembilan anak yang tinggal di tenda kecil yang ia dirikan di halaman sekolah tersebut, di dekat toilet, akhirnya bisa mandi di rumah sakit terdekat di Jalur Gaza utara.
“Airnya dingin, dan tidak banyak, tapi saya tidak punya solusi lain,” katanya.
“Orang-orang berjuang di sini di sekolah ini untuk menggunakan toilet, anak-anak saya sampai mengompol sebelum gilirannya tiba,” katanya.
Dia menunjuk ke anak-anaknya yang berdiri di sekelilingnya. Dia membungkuk dan memeriksa rambut anaknya yang berusia satu tahun dan memunguti kutu-kutu di kepala anaknya.
“Anak-anak saya terjangkiti kutu dan telurnya karena mereka tidak bisa mandi di sini,” katanya.
“Saya berharap sebuah rudal akan menghantam kami, saya dan anak-anak saya. Mati lebih baik dari pada kehidupan ini,” katanya putus asa
“Ini bukan hidup yang sebenarnya,” kata suaminya, Hazem, dagunya berbopeng dengan bintik-bintik merah yang katanya disebabkan oleh kebersihan yang buruk di sekolah.
Ashraf al-Qidra, juru bicara kementerian kesehatan di Gaza, mengatakan bahwa orang-orang dipenampungan itu dilaporkan menderita penyakit kulit, ruam, dan gatal-gatal.
“Banyak anak-anak yang menderita diare kronis dan beberapa kasus meningitis juga dilaporkan,” tambahnya.
Adnan Abu Hasna, juru bicara badan PBB untuk pengungsi Palestina, mengatakan bahwa kekurangan air tidak hanya terjadi di tempat penampungan pengungsi, tetapi di seluruh daerah Gaza.
“Karena pemboman “Israel” terhadap infrastruktur, terjadi kekurangan air di Jalur Gaza,” katanya.
Sebagian besar warga Gaza telah menderita kekurangan air bahkan sebelum perang, tetapi sekarang kerusakan akibat perang menyebabkan warga Gaza harus memompa air 50 persen lebih sedikit, kata Monzer Shoblak, seorang pejabat setempat yang mengurusi masalah air.
“Pembangkit listrik satu-satunya di wilayah itu juga telah roboh oleh serangan “Israel” selama konflik, hal ini praktis memutus penyediaan air minum”, katanya.
Samar al-Masbah, (27), yang tinggal di kota al-Zahra, barat daya dari Kota Gaza, mengatakan bahwa air ke rumahnya telah terputus sekitar 10 hari yang lalu.
“Ketika air datang, listrik terputus, sehingga air tidak bisa sampai ke tangki di atap karena membutuhkan mesin untuk memompanya,” katanya.
(ameera/arrahmah.com)