Mereka mengikat kami berdua ke tempat tidur dan memperkosa kami satu per satu,” ungkap Habiba, gadis berusia 20 tahun yang saat ini telah menemukan tempat berlindung dengan pengungsi Rohingya lainnya beberapa kilometer dari perbatasan Bangladesh-Myanmar.
“Kami hampir kelaparan di sini. Tapi setidaknya tidak ada yang datang ke sini untuk membunuh atau menyiksa kami,” kata Hashim Ullah, kakak Habiba yang melarikan diri dengan dua adik perempuannya.
Habiba dan adiknya Samira yang berusia dua tahun lebih muda mengatakan mereka diperkosa di rumah mereka di desa Udang oleh pasukan Myanmar yang kemudian membakar rumah mereka.
“Mereka membakar sebagian besar rumah di desa kami, membunuh banyak orang termasuk ayah kami dan memperkosa banyak gadis remaja,” tutur Habiba, yang sepakat untuk diidentifikasi dalam cerita ini.
“Salah satu tentara mengancam kami dan mengatakan bahwa mereka akan membunuh kami jika mereka masih menemukan kami saat mereka datang lagi ke sini. Kemudian mereka pergi setelah membakar rumah kami.”
Aksi perkosaaan yang dialami Habiba dan adiknya ini adalah kisah yang nyaris akrab di antara ribuan pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan tentara Myanmar.
Terkuaknya kasus perkosaan ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa pasukan keamanan Myanmar secara sistematis menggunakan kekerasan seksual terhadap Rohingya.
Kekerasan telah memaksa ribuan orang mengungsi, dan membuat seorang pejabat PBB menuduh Myanmar melakukan “pembersihan etnis” dari minoritas Muslim.
Ullah dan saudara-saudaranya melarikan diri setelah mengambil tabungan keluarga sejumlah 400 dolar AS dan berjalan ke Sungai Naf yang memisahkan Bangladesh selatan dari negara bagian Rakhine Myanmar.
Tiga bersaudara ini menghabiskan empat hari bersembunyi di bukit-bukit dengan ratusan keluarga Rohingya lainnya, sebelum mereka menemukan pemilik perahu yang bersedia untuk membawa mereka ke Bangladesh.
“Dia meminta semua uang kita,” kata Ullah.
Pemilik perahu meninggalkan mereka di sebuah pulau kecil di dekat perbatasan.
Kemudian mereka berjalan melintasi semak belukar sampai mereka menemukan sebuah keluarga Rohingya yang menawarkan mereka tempat berlindung.
Perkosaan sebagai senjata perang
Cerita serupa terkait kekerasan dan perampasan ini telah memaksa ribuan Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine Myanmar menjadikan gubuk beratap plastik sebagai satu-satunya perlindungan.
Para pengungsi menuturkan bahwa aksi perkosaan, penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan Myanmar di wilayah yang berada di bawah kontrol militer setelah serangan mematikan di pos perbatasan polisi bulan lalu.
Wartawan asing dan peneliti independen telah dilarang memasuki kawasan tersebut.
Sementara militer dan pemerintah Myanmar sendiri telah menafikan tuduhan yang ditujukan oleh berbagai kelompok hak asasi manusia.
LSM Liga Perempuan Burma yang berbasis di Thailand telah mendokumentasikan 92 kasus kekerasan seksual oleh pasukan Myanmar antara 2010 dan 2015, yang mereka lansir telah digunakan “sebagai sarana mempermalukan dan menghancurkan komunitas etnis”.
Ratusan ribu pengungsi Rohingya terdaftar telah tinggal di sisi Bangladesh dari perbatasan selama beberapa dekade, setelah melarikan diri dari kekerasan dan kemiskinan di seberang perbatasan.
Di Myanmar, Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dan diberi label “Bengali”, meskipun banyak yang telah tinggal di sana selama beberapa generasi.
Mereka yang tidak mendapatkan kewarganegaraan dan menghadapi pembatasan ketat untuk memperoleh akses pekerjaan, pendidikan dan kesehatan.
Sementara itu, pemerintah Bangladesh menolak desakan internasional untuk membuka perbatasannya dalam menghindari krisis kemanusiaan. Bahkan pemerintahan yang dipimpin oleh sekularis garis keras Sheikh Hasina ini mengatakan Myanmarlah yang harus berbuat lebih banyak untuk mencegah minoritas Rohingya masuk ke negaranya. (althaf/arrahmah.com)