(Arrahmah.com) – Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2020 yang jatuh pada 23 Juli 2020 lalu menyisakan PR besar bagi kita. Anak-anak paling rentan menjadi korban kekerasan. Awal Juli lalu, warga Kabupaten Pasuruan digegerkan dengan tragedi yang menyayat hati. Bocah perempuan yang berusia 5 tahun dibunuh secara keji. Ironisnya, sebelum dibunuh, korban sempat diperkosa. Yang mengejutkan, pelakunya adalah pasangan suami-istri (pasutri) yang baru saja menikah. Pasutri itu masih tetangga korban di Kecamatan Wonorejo, Kabupaten Pasuruan.
Wakil Ketua LPA Kabupaten Pasuruan Daniel Polozakan mengungkapkan, tren kasus kekerasan pada anak yang diterima pihaknya memang cenderung mengalami penurunan. Dari catatan LPA, sepanjang 2017 tercatat ada 34 kali laporan. Jumlah ini menurun dua kali lipat pada 2018 sebanyak 17 kasus. Sementara tahun lalu, ada 10 kali laporan. Untuk tahun ini, laporan kasus kekerasan pada anak, rawan naik lagi. Sebab, pada semester awal atau Januari-Juni, sudah ada 7 laporan kasus kekerasan pada anak yang masuk. (Radarbromo, 25/07/2020)
Itu hanyalah kasus yang dilaporkan, bagaimana dengan kasus kekerasan yang tak terlapor? Mungkin jauh lebih banyak. Dikutip dari Kompas, 21/07/2020, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat selama masa pandemi covid-19.
Pada 2019, tercatat lebih dari 900 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur. “Namun saat 2020, hingga 16 Juli 2020, tercatat hampir 700 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Kepala DP3AK Provinsi Jawa Timur Andriyanto saat webinar memperingati Hari Anak Nasional 2020, Selasa (21/7/2020).
Melihat fakta tersebut, ada beberapa hal yang patut dicermati penyebab maraknya kekerasan terhadap anak:
Pertama, aspek orang tua. Orang tua adalah sekolah pertama bagi anak. Jika rumah tak lagi ramah pada anak, maka anak bisa saja mencari ketenangan dan kenyamanan di luar rumah. Ketidakharmonisan orang tua juga memengaruhi psikis anak. Tak jarang kita temui kasus kekerasan justru dilakukan oleh orang tua kepada anak. Hal ini dikarenakan ketidakpahaman orang tua dalam mendidik anak.
Selain itu, lemahnya pengawasan orang tua juga menjadi sebab liarnya pergaulan anak. Kasus kekerasan seksual, pemerkosaan, aborsi, atau hamil di luar nikah adalah sederet kasus yang diakibatkan lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak. Oleh karenanya, membangun keharmonisan dalam keluarga penting untuk diwujudkan. Orang tua juga harus memahami ilmu dan cara mendidik anak yang sesuai tuntunan agama (Islam, red.)
Kedua, aspek lingkungan. Lingkungan yang baik sangat diperlukan bagi tumbuh kembang anak. Jika anak tumbuh dalam lingkungan yang buruk, maka anak bisa terpapar keburukan. Apabila lingkungan baik, anak pun ikut baik. Di sistem serba sekuler, yaitu agama terpisah dari kehidupan, hampir jarang kita temukan lingkungan yang mendukung pendidikan baik bagi keluarga. Masyarakatnya cenderung apatis dan invidualis. Ghirah melakukan kebaikan dan mencegah kemaksiatan belum menjadi kebiasaan.
Ketiga, aspek ekonomi. Faktor ekonomi kerap menjadi alasan utama kekerasan pada anak. Sudah banyak kasus kekerasan pada anak berujung maut. Bahkan, ada yang alasannya tak dapat diterima logika dan nurani manusia. Terlilit utang, rebutan warisan, hingga cekcok lantaran larangan orang tua ke anak bisa berakhir dengan kematian. Miris dan ironis. Perangai orang tua kasar, lemah pengawasan, tega menganiaya hingga membunuh anak kerap dilatarbelakangi karena ekonomi.
Tak dapat dipungkiri, sempitnya hidup di alam kapitalisme menuntut para orang tua bekerja siang malam mencari nafkah. Tak ayal, kkewajiban orang tua dalam mendidik tak tertunaikan dengan optimal. Alhasil, anak terdidik oleh lingkungan, teman, dan sistem sekuler yang merusak. Jadilah mereka generasi lemah iman, pendek akal, dan susah dikendalikan. Sementara, orang tua sendiri juga terjepit. Ekonomi pas-pasan, pendidikan anak terabaikan, dan ilmu mendidik pun kurang.
Keempat, aspek media. Di masa keterbukaan informasi hari ini, tontonan sudah menjadi tuntunan. Anak adalah peniru ulung. Apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan akan tertanam kuat dalam memorinya. Tatkala informasi yang didapat berupa kebaikan, ya kebaikan itulah yang mereka cerap. Begitupun sebaliknya. Peran media cukup vital. Anak-anak akan menyerap infromasi dan pengetahuan dari sana. Maka dari itu, media semestinya menjadi sumber ilmu yang baik bagi anak. Tidak seperti hari ini. Media justru menjadi mudarat bagi anak. Banyak tayangan tak mendidik hanya demi tujuan komersil. Bukan mengedukasi.
Keempat poin itu bermula dari kehidupan yang serba kapitalistik dan sekularistik. Agama jauh dari kehidupan umat Islam. Anak tak dibekali keimanan dan ketakwaan. Orang tua tak begitu paham, lingkungan tidak aman, serta Negara yang cenderung abai dalam melakukan pencegahan dan sanksi hukum yang tegas.
Dalam Islam, anak adalah aset peradaban. Mendidik anak di usia dini bagai mengukir di atas batu. Ukiran seperti apa yang mau kita tancapkan kepada anak? Didikan ala sekuler atau sesuai tuntunan Islam? Islam memiliki sejumlah perangkat dalam mencegah kekerasan terhadap anak.
Pertama, sistem pendidikan. Kurikulum yang mendasari sistem pendidikan haruslah berbasis akidah Islam. Dengan begitu, semua materi yang diajarkan akan terintegrasi dengan akidah Islam. Anak-anak dibentuk dengan kepribadian Islam, yaitu pola pikir dan pola sikap sesuai Islam.
Kedua, sistem ekonomi. Kebanyakan biang kekerasan kepada anak adalah ekonomi. Dalam hal ini, Negara akan menjamin kebutuhan dasar setiap keluarga. Baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Negara wajib memenuhinya. Dengan begitu, beban ekonomi akan berkurang. Ayah dan Ibu bisa memfokuskan diri mendidik anak dengan penuh cinta tanpa harus tertekan dengan kondisi ekonomi keluarga.
Ketiga, pengaturan media. Berita dan informasi yang disampaikan media hanyalah konten yang membina ketakwaan dan menumbuhkan ketaatan. Apapun yang akan melemahkan keimanan dan mendorong terjadinya pelanggaran hukum syara’ akan dilarang keras.
Keempat, sistem sanksi. Dengan penerapan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi pelaku kejahatan, kekerasan terhadap anak dapat dikendalikan. Masyarakat wajib melakukan amar ma’ruf nahiy munkar. Tatkala melihat kejahatan, masyarakatlah sebagai pengawas dan penyeru kebaikan.
Keempat aspek tersebut tak akan bisa terwujud bila Negara tidak menerapkan sebuah satu kesatuan sistem yang terhubung satu sama lain. Yaitu sistem syariat Islam secara komprehensif. Pengaturan ini membutuhkan tiga pilar yang saling terkoneksi, yakni keluarga, masyarakat, dan Negara. Tanpa ketiganya, masalah kekerasan tak akan tuntas.
*Oleh Chusnatul Jannah – Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
(ameera/arrahmah.com)