Kabul jatuh, dan serangkaian fitnah dan perselisihan mulai muncul di antara berbagai faksi mujahidin.
Kami berusaha untuk mencegah dan menghindari diri dari keterlibatan dalam aksi saling kecam dan fitnah semacam itu. Saya kembali ke Arab Saudi, mencari perlindungan dan ketenangan. Saya berusaha untuk mengobati kaki saya yang hilang dalam pertempuran di Afghanistan. Saya tinggal di Jeddah, dekat sebuah rumah sakit.
Paska pemboman di Riyadh, tepatnya di sebuah fasilitas pelatihan militer Amerika Serikat pada November 2006, saya terbangun karena pintu tempat saya digedor oleh sekelompok orang tak dikenal. Saya bangkit dari tempat tidur dan menghampiri pintu dengan bantuan tongkat.
Orang-orang itu memaksa masuk ke dalam apartemen saya. Saya sempat mengira mereka adalah perampok. Saya berteriak, “Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?”
Mereka bersebelas, ternyata anggota dari Mabaheth, pihak keamanan Saudi. Ternyata mereka sedang mengincar saya, menggeledah apartemen saya dan memborgol saya selama dua jam.
Selama itu mereka menggeledah isi apartemen yang saya tinggali, mengobrak-abrik semua sudut rumah, termasuk toilet. Kemudian, mereka mengambil semua buku, rekaman, dan membawa saya bersama mereka, dalam keadaan terikat. Perjalanan kesengsaraan dan penderitaan pun dimulai.
Saya tidak pernah berpikir siapapun akan bertemu dengan metode penanganan yang benar-benar penuh kehinaan di sebuah negeri dimana dua tempat suci kaum muslimin tegak berdiri.
Kendaraan yang saya tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat luas. Saya tahu bangunan itu adalah penjara ar-Ruwais, yang juga pusat Mabaheth Jeddah.
Kami melewati gerbang besar dan kendaraan itu berkeliling seolah-oleh ingin menjadikan saya sebagai turis untuk melihat-lihat semua sudut di kompleks penjara yang sedang diperluas dengan dalih agar bisa menampung para tahanannya mengingat dan meningkatkan proses pengamanan penjara tersebut.
Di dalam halaman yang terisolasi dari dunia luar, saya tinggal bersama para penjaga penjara yang selalu mengadakan pemeriksaan rutin dari mulai menukar pakaian saya hingga menahan barang-barang pribadi.
Saya dibawa ke sebuah sel kecil berukuran 1,5 x 1,0 meter. Saya tinggal di sana selama 3 bulan. Saya tidak tinggal untuk jangka waktu yang lama karena mereka membawa saya ke Office No. 1. Di sana saya bertemua dengan introgator, ‘Abu Nayef’ yang baru-baru ini memperoleh kenaikan pangkat menjadi Letnan. Saya yakin pangkatnya dinaikkan karena komitmennya dalam menghinakan para hamba Allah dan juga karena metode kreatifnya dalam melakukan penyiksaan terhadap mereka.
Saya baru mengetahuinya kemudian, bahwa ‘Abu Nayef’ diberhentikan, namun ia selalu melakukan rutinitas pemeriksaan dan pengintrogasian atas kehendaknya sendiri. Kemudian ia memberikan kasus-kasus yang ia tangani pada bawahannya, berdasarkan keinginannya sendiri, atau meminta nasihat dan petunjuk dari bosnya, direktur penjara, Zagzoug.
Saya berdiri di hadapannya, dengan tangan diborgol. Dua orang pengawal berdiri di sampingnya, tanpa ekspresi kecuali terlihat adanya ketakutan dan kebencian di wajah-wajah mereka.
Dia bertanya, “Apakah kamu salah satu orang yang merencanakan pemboman Riyadh?”
Saya menyangkalnya. Saya tidak pernah memiliki keterkaitan dengan pemboman mana pun. Sungguh, bahkan saya tidak mengetahu ada pemboman kecuali apa yang saya baca dan dengar dari media.
Mereka mulai memukuli saya dengan kejam. Tidak ada satu bagian pun dari tubuh saya yang luput dari pemukulan dan rasa sakit selama sesi introgasi berlangsung. Pakaian yang saya kenakan sudah tercabik-cabik. Tangan saya masih diborgol. Saya ada dalam kondisi setengah telanjang.
Saya melihat nafsu menyiksa mereka semakin besar. Kemudian mereka menggunakan semacam cambuk dan sesuatu yang belum pernah saya lihat seumur hidup.
Berjam-jam mereka terus bertanya mengenai pertanyaan yang sama, “Mengapa kamu melakukan pemboman di Riyadh?”
Saya tidak bisa melakukan apapun, kecuali menolak tuduhan tersebut, Saya tidak bisa melakukan apa-apa. Kepala saya terasa berputar dan akhirnya pingsan karena perlakuan mereka. Setiap kali saya tidak sadar dan hampir pingsan, mereka mengguyurkan air untuk membangunkan saya. Saya tidak dapat lagi berdiri, saya terjatuh di lantai. Mungkin karena mereka telah bosan melihat kondisi saya, mereka menyudahi penyiksaan terhadap saya siang itu. Mereka memerintahkan penjaga untuk membawa saya ke sel. Dua orang penjaga melemparkan saya ke sana.
Saya seperti mayat, tak bisa bergerak.
Mereka kembali membawa saya hari selanjutnya untuk introgasi. Lagi-lagi, mereka menanyakan pertanyaan yang sama. Setiap kali saya menolak, mereka mencambuk.
Mereka meningkatkan metode penyiksaan mereka kali ini. Saya diikat ke sebuah batang besi seperti binatang yang siap dipanggang dan disantap untuk pesta. Introgasi kali ini merupakan momen penyiksaan yang sama sekali berbeda. Mereka memukul saya dengan cambuk dan tongkat. Kadang-kadang mereka melakukannya bersama-sama sekaligus, kadang-kadang bergiliran. Mereka sedang berjihad dengan cara Sultan dan saling bersaing siapa yang akan menguliti saya terlebih dulu. Saya benar-benar tidak bisa melawan mereka. Saya digantung. Bumi serasa berputar. Saya berteriak minta tolong dalam hati pada Allah SWT agar bisa melawan binatang-binatang ini.
Saya mungkin lebih baik dibanding tahanan-tahanan saya yang lain. Ada yang tidak diperkenankan memakai pakaian selama penyiksaan atau atau badannya dipanggang. Bahkan ada yang dilecehkan secara seksual.
Meraka (orang-orang yang tidak pernah memiliki rasa kemanusiaan itu) tertawa senang dan bangga, seolah-olah mereka sedang melakukan pesta di perkemahan.
Hari kedua saya dibawa ke sel. Hari berikutnya, pesta penyiksaan pun terus berlangsung dan akan selalu seperti itu sampai sang ‘Abu Nayef’ kelelahan.
Dia membawa saya menemui Zagzoug. Dia benar-benar lebih buruk. Perkataannya tidak beda dengan orang-orang kafir. Dia mengutuk syariat, diin, dan para penganut Islam. Dia mengutuk para ulama dan para salafus shalih. Saya ingat bagaimana dia menjelaskan tentang diin al Islam dan bagaimana dia menggambarkan syariat (undang-undang Islam), dengan kata-kata yang sangat buruk, yang demi Allah, sangat menyakitkan saya ketimbang siksaan fisik yang saya terima. Saya benar-benar merasa tak berarti apa-apa karena saya tidak bisa menolong agama Allah saat itu. Bahkan Zagzoug mengancam akan memperkosa saya.
Sesudah penanya merasa bahwa kasus saya sia-sia karena saya memang tidak memiliki keterkaitan dengan pemboman Riyadh, mereka mulai memaksa saya agar mengaku sebagai seorang Takfir, yang tak hanya mengatakan bahwa para penguasa adalah kafir tetapi juga menyatakan bawah para ulama dan masyarakat pun kafir. Mereka ingin memaksa saya untuk mengaku telah melakukan aksi-aksi bersenjata yang diarahkan ke penduduk sipil.
Saya kemudian mengetahui bahwa ketika saya dibawa ke sel kolektif tempat para pemuda yang dipaksa mengaku sebagai takfir dan memiliki senjata dikurung. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap sesama bangsa Saudi. Orang-orang non Saudi akan dibebani banyak tuduhan seperti mereka dituduh bekerja agen intelejen negara asal mereka atau mendukung perjuangan bersenjata agar kembali ke tanah airnya. Sangat bodoh jika ada orang yang berpikir bahwa kedua hal itu adalah pilihan yang akan menyelamatkannya dari penyiksaan. Semua itu bohong besar. Mereka tidak akan pernah menemukan keselamatan.
Saya sadar sesudah dipindahkan ke sel kolektif dengan jumlah tawanannya sangat banyak. Seolah-olah jika ada pemuda dengan tingkat relijiusitas yang sedikit berbeda dengan yang lain, maka ia layak dipenjarakan di ar-Ruwais penjara. Bahkan bagi beberapa orang, istri mereka pun ikut dipenjarakan. Mereka diinterogasi oleh binatang-binatang buas.
Saya benar-benar geram tapi tak berdaya. Para introgator benar-benar tidak bermoral dan tidak beretika jika mereka tetap dibiarkan untuk menangani para muslimah. Saya hanya bisa meminta pertolongan dari Allah untuk melindungi dan menyelamatkan mereka.
Beberapa tawanan memberi tahu saya mereka diancam akan membawa dan memperkosa istri, adik perempuan, atau ibu mereka, jika mereka tidak mengaku. Saya juga mengetahui ada beberapa tawanan yang dikumpulkan di satu kamar dalam keadaan telanjang dan tersiksa, dan pada saat yang sama, orang lain dibiarkan menonton untuk mempermalukan dan menurunkan kehormatan mereka. Saya juga kembali menyadari bahwa apa yang saya rasakan bukan apa-apa dibandingkan apa yang biasa mereka saksikan di sini.
Ada yang kuku jari kaki dan tangan mereka dicopot. Ada dilarang tidur selama berhari-hari. Saya masih ingat, ada seorang tawanan yang dilarang tidur selama 9 hari. Mereka mencambuknya tiap kali dia terduduk atau mencoba tidur. Semua laki-laki yang ditahan di sini memang sengaja dihilangkan keberaniannya, mereka disiksa secara psikologis, bahkan ada yang menangis histeris.
Di sel kolektif, saya melihat dan mendengar apa yang tidak pernah bisa dipercaya seorang pun. Di kamp penawanan saya melihat sekelompok mujahidin tak seorang pun di negeri Arab ini memperlihatkan rasa hormat atas pengabdian dan keberanian mereka berjuang di jalan Allah. Saya melihat Hassan al-Srihi (yang terkenal dalam operasi Singa Allah di Afghanistan). Ia dibawa dari Pakistan dan diserahkan pada penguasa Arab yang munafik. Dia dihadapkan pada penyiksaan yang sangat buru oleh para pelayan Sultan agar mengaku terlibat dalam pemboman Riyadh. Meskipun faktanya dia tidak sama sekali tidak memiliki keterlibatan sedikitpun dengan pemboman, namun ia tetap ditahan. Tidak ada satu orang pun yang membelanya di belahan bumi manapun, bahkan tidak juga para penguasa muslim itu memberikannya keadilan.
Saya juga kemudian mengetahui bahwa Profesor Palestina Muhammad Yusuf Abbas yang juga dikenal dengan nama Syaikh Abdallah Azzam, pemimpin Maktab Khadamat al-Mujahideen ada di penjara yang sama dengan saya.
Abu Abdelaziz Barbaros, seorang mujahidin garis depan di Bosnia, yang saat ini berusia hampir lima puluh tahun dan berkorban banyak dalam melakukan kewajiban jihad di jalan Allah, juga ada di sana.
Saya juga jadi mengetahui bahwa di ar-Ruwais, ada satu sel khusus yang disebut sebagai “Sel Pembuat Masalah” yang disiapkan bagi siapa saja yang tidak bisa diajak ‘bekerja sama’ dengan introgator. Selnya tanpa atap dan terletak di luar gedung induk di kompleks Ar-Ruwais. Kamar mandinya menyatu dengan sel. sehingga semua kotoran menumpuk di sana dan mengundang serangga masuk dan baunya sangat tidak enak.
Masalah itu adalah masalah yang sama yang harus kami hadapi di penjara ini. Rata-rata setiap sel di sini berbau tidak sedap. Kami harus berdiri berderetan untuk buang air.
Semua ini saya saksikan sendiri dan semua luka fisik dan emosi ini masih menghantui saya, meskipun sudah dipindahkan ke sel kolektif. Pemandangan penyiksaan masih saja harus saya hadapi. Masing-masing dari kami dibawa setidaknya dua kali seminggu ke ‘pesta’ mereka. Selama masing-masing sesi penyiksaan, introgator menciptakan cerita baru, tuduhan baru, dari mulai terlibat dalam penyelundupan senjata, hingga operasi bersenjata atau tuduhan takfir.
Meskipun demikian, komplotan penyiksa dan pelayan Sultan serta harapan-harapan mereka selalu diliputi kegagalan. Melalui pemeriksaan pengadilan dan melalui kesabaran akan kemenangan Allah akan terjadi dan kekuasaan Allah akan tampak.
Kami tidak pernah kehilangan ketabahan, meskipun kemalangan datang bertubi-tubi. Melalui keyakinan bahwa Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya dan tidak ada satupun yang bisa melawan kehendak-Nya.
Sungguh, saya tidak pernah mendengar siapa pun yang saya temui dipenjara ini menyesal karena dia telah memilih jalan jihad, atau bahkan kemudian berpikir bahwa jihad adalah sumber penderitaan.
Bahkan mereka, para tawanan itu, memperlihatkan contoh yang baik bagaimana melawan dan bagaimana mempertahankan kekuatan. Hassan al-Srihi menceritakan bagaimana di tengah-tengah penyiksaan ia tidak pernah berhenti membaca al-Qur’an dan berdzikir. Saya merasa tentram saat saya melihatnya.
Semua yang diberitakan di televisi maupun media cetak bukan apa-apa dibanding apa yang saya rasakan sendiri di tempat ini. Jika anda melihatnya di sini, melihat apa yang benar-benar terjadi di sini, dimana rasa kemanusiaan sudah hilang sama sekali. Jika anda melihat apa yang benar-benar terjadi di sini, maka anda tidak akan lagi bisa percaya pada apa yang diklaim oleh para penguasa.
Saya meminta pada Yang Maha Kuasa, dengan semua kekuasaannya, untuk mengakhiri semua kemalangan yang ditimpakan pada orang-orang di negeri Haramayn ini, di penjara yang tidak dibangun untuk memperbaiki perilaku mereka yang melanggar dan tidak juga dibangun untuk menegakkan undang-undang Islam ini. Negeri ini adalah penjara bagi mereka yang selalu ditekan, disiksa, dan diperlakukan semena-mena.
Saya memohon pada Allah agar Ia memberikan kemenangan kepada kaum muslimin, untuk memenangkan mereka dari siapa saja yang menyalahkan mereka dan mempertimbangkan apa yang telah menimpa kami sebagai bekal kami pada hari kami menemui-Nya. Allaahumma aamiin.
Catatan ini merupakan penuturan dari salah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang amanah dalam barisan jihad Afghanistan. Ia pernah ditahan di penjara ar-Ruwais di Jeddah, dan Allah menyelamatkannya. (althaf/islamorgau/ansarnet/arrahmah.com)