NEW YORK (Arrahmah.com) – Pada malam 27 Desember 2012, seorang imigran India datang ke Amerika dengan nama Sunando Sen, ia didorong oleh orang asing ke trek kereta bawah tanah di New York dan dipukuli serta tewas terlindas kereta yang melintas. Sen telah tinggal di New Yotk selama bertahun-tahun dan setelah bertahun-tahun, kerja kerasnya mencapai hasil, dia membuka usaha kecil sendiri, sebuah toko fotokopi di Upper Manhattan, tulis Murtaza Hussain dalam artikel yang diterbitkan oleh Al Jazeera.
Teman sekamarnya, MD Kham terlihat shock dengan kematian temannya, seorang pria yang berbicara dengan lembut dan suka menonton acara komedi. “Dia begitu baik, lembut dan tenang. Ini mematahkan hati saya.”
Keesokan harinya, NYPD mengumumkan penangkapan Erika Menendez, wanita berusia 31 tahun yang terlihat dalam rekaman keamanan pergi meninggalkan lokasi setelah mendorong Sen. setelah ditahan dan dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi, Menedez mengaku telah membunuh Sen dan menyatakan motivasinya adalah melakukan kekerasan terhadap ummat Islam.
Saat ditanya detektif ia mengatakan :
“Saya mendorong seorang Muslim ke rel kereta api karena aku benci Hindu dan Muslim. Sejak tahun 2001 ketika mereka menghancurkan Twin towers, saya telah memukuli mereka.”
Sunando Sen bukanlah seorang Muslim, tetapi karena berkulit coklat dan hidup di Amerika Serikat, ia ditargetkan dan dibunuh dalam tindakan kebencian rasial yang merupakan produk sampingan dari kampanye berkelanjutan fanatisme dan demonisasi terhadap ummat Islam yang tinggal di Amerika.
Muslim Amerika, serta Hindu, Sikh dan lain-lain yang konon tampak seperti Muslim, telah dipermalukan, diserang dan dalam banyak kasus dibunuh oleh individu yang melakukan kekerasan karena pengaruh media.
Meningkatnya kekerasan anti-Muslim
Tingkat kebencian dan kekerasan yang ditujukan pada komunitas Muslim meningkat tajam. Dalam sebulan terakhir, di New York saja, polisi telah menduga kebencian rasial sebagai motif di balik beberapa kejahatan.
Ini termasuk serangkaian pembunuhan khusus menargetkan pemilik toko berasal dari Timur Tengah di Brooklyn, korban terakhir adalah seorang imigran berusia 78 tahun bernama Rahmatollah Vahidipour yang ditembak mati saat menutup butik miliknya dan tubuhnya yang telah tak bernyawa kemudian diseret ke ruang belakang dan ditutupi dengan barang-barang dari tokonya.
Di minggu yang sama, pembunuhan Muslim lain yang didahului dengan pemukulan kejam oleh dua pria. Sementara pria Muslim lainnya ditikam beberapa kali di luar sebuah Masjid oleh seorang penyerang yang berteriak : “Aku akan membunuhmu Muslim”, sambil berulang kali menikamkan pisaunya ke tubuh korban.
Insiden ini sejalan dengan statistik Amerika yang menunjukkan kekerasan anti-Muslim berada dalam rekor tertinggi, sebuah tren yang datang bersamaan dengan kampanye menentang pembangunan Masjid di Amerika serta ketakutan politisi dan beberapa tokoh media tentang plot dugaan Muslim Amerika akan mengganti konstitusi dan menerapkan hukum Islam di negara itu.
Dalam siklus pemilu AS juga terlihat Muslim digunakan sebagai target untuk meraih suara. Salah satu contoh anggota dewan perwakilan rakyat dari partai Republik di Illinois, Joe Walsh yang mengatakan saat berkampanye : “Muslim di sini mencoba untuk membunuh orang Amerika setiap hari” yang disambut sorak sorai oleh pendukungnya.
Setelah berhasil membuat kerumunan histeris, selang beberapa hari komunitas Muslim mengalami konsekuensi dari retorikanya. Seorang pria melepaskan tembakan ke sebuah Masjid di Illinois saat ratusan jama’ah menghadiri sholat tarawih di bulan Ramadhan. Keesokan harinya, Masjid lain diserang menggunakan acid bom yang dilemparkan ke jendela sementara para jama’ah melaksanakan sholat Isya berjama’ah.
Meskipun terjadi serangkaian serangan terhadap Muslim di Illinois setelah pernyataannya yang tak mendasar, Walsh tetap menolak untuk meminta maaf atas retorikasnya dan bahkan melemparkan tuduhan lain yang lebih dahsyat terhadap komunitas Muslim. Ini merupakan cerminan penerimaan anti-Muslim oleh retorika politik di AS saat ini.
Memang penggunaan Muslim oleh politisi oportunis yang menjadikan kelompok minoritas sebagai kambing hitam menjadi fitur biasa dari kehidupan politik Amerika dan tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. (haninmazaya/arrahmah.com)